Opini
Oleh Agus Wahid (Peneliti Lembaga Garuda Indonesia) pada hari Rabu, 10 Mei 2017 - 10:48:24 WIB
Bagikan Berita ini :
Kilas Balik dan Tatapan Masa Depan

DPD: Apa Dosaku?

62IMG-20160613-WA0008_1465797416811.jpg
Agus Wahid (Peneliti Lembaga Garuda Indonesia) (Sumber foto : Istimewa )

Terus “diamputasi”, dikebiri bahkan lebih dari itu: digonjang-ganjing untuk disirnakan. Itulah nasib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sejak hadir secara operasional pada 2004 hingga kini, keberadaan lembaga tinggi negara ini tidak pernah sunyi dari rekadaya sistimatis untuk meniadakan lembaga parlemen ini. Itulah fakta politik, padahal eksistensinya tak lepas dari amanat konstitusi sebagai pengejawantahan cita-cita reformasi 1998 itu. So, what going on DPD sehingga membuat sebagian pihak merasa perlu menguburkannya? Adakah dosa politik yang tak terampuni, sehingga tak layak eksis di Bumi Nusantara ini?

Rintihan melo DPD bukanlah mengada-ada. Kita dapat membukanya via perjalanannya. Sebuah lembaga produk amandemen ketiga UUD 1945 itu – secara konstitusional – memang berangkat dari sikap aspiratif para wakil rakyat yang duduk di Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) hasil pemilu 1999 yang merespon keinginan publik guna menghindari keterulangan lembaga super body (eksekutif). Dan menciptakan kualitas keberimbangan kekuatan lembaga parlemen menjadi pemikiran yang dinilai krusial-solutif. Di sanalah, fakta politik kemudian memunculkan pemikiran bikameralisme sebagai opsi politik penyehatan sistem ketata-negaraan kita.

Namun, produk politik itu tampak tidak serius dirancang sebagai upaya menciptakan perimbangan kekuatan strategis. Hal ini terbaca jelas dengan pembatasan kewenangannya. Pasal 22 D Ayat 1 dan 2 UUD 1945 cukup menggambarkan jelas pembatasan kewenangannya. Hal ini – secara politis – berdampak serius: DPD bukan hanya tidak akan mampu menjalankan fungsinya secara maksimal. Realitas kinerja yang terbatas ini – secara politis juga – membuahkan reaksi publik, bukan hanya semakin tidak mengenali, tapi juga miris dan negatif atas minimalitas peran DPD selama ini. DPD sangat tidak populer di mata publik, terutama lapis bawah. Bahkan, lapis menengah ke atas pun tidak memahami keberadaan DPD sepertinya halnya mengenal DPR RI.

Sebuah renungan mendasar, mengapa sketsa politik DPD dirancang seperti itu? Bisa jadi, faktornya dari para elitis partai politik yang tidak memahami makna fungsional DPD dalam konteks ketatanegaraan. Sikap para elitis ini diterjemahkan lebih jauh ke fraksi-fraksinya di DPR RI, yang notebene, mereka adalah para anggota bahkan pimpinan di lembaga MPR. Namun, sebagian publik tidak percaya dengan ketidakpahamannya terhadap DPD. Karena itu, barisan publik ini lebih cenderung meyakini adanya gejala kuat tentang ketidakamauan berbagi peran dalam lembaga parlemen. Ada ego sektoral dalam diri DPR RI – karena superioritas yang baru digapainya – untuk menunjukkan jatidirinya. Ego ini pun – jika kita cermati – tak lepas dari sejumlah fasilitas yang mengikutinya, sehingga ketidakrelaan berbagi peran menjadi kian menonjol. Secara vis a vis dan kelembagaan, DPR RI berusaha unjuk diri sebagai kekuatan utama dalam menghadapi mitra kerjanya (Pemerintah). Dan sikap politik ini memang – setidaknya selama tiga periode – berhasil menunjukkan kekuatan paripurnanya, sehingga muncul kesan kuat bahwa DPR memang jauh lebih berkuasa daripada lembaga eksekutif.

Kesan itu bertahan hingga kini, meski sudah sedikit mulai bergeser sejalan upaya kooptasi rezim terhadap lembaga legislatif ini. Namun, satu hal yang pasti, pergeseran posisi politik di tengah DPR itu tak membawa pengaruh konstruktif bagi kewenangan DPD. Sesuai dengan pembatasan kewenangan fungsional secara konstitusional, DPD bukan hanya loyo, tapi tetap berjalan di tempat. Keberadaannya ada tapi seperti tiada.

Realitas keterbatasan DPD tetap tak berubah, meski uji materi terkait MD3 dikabulkan Mahkamah Konstitusi (Keputusan MK No. 79/PUU-XII/2014, terutama Pasal 250 Ayat 1 UU MD3 sebagaimana yang dimaksud Pasal 249). Keputusan MK ini sejatinya merupakan taji ampuh dimana seluruh produk hukum DPR batal demi hukum tanpa persetujuan DPD. Meski demikian, keputusan MK belum berjalan efektif. Bisa dikatakan juga tetap diabaikan. Dipandang sepi. Sebuah pertanyaan mendasar, ke mana suara DPD yang sesungguhnya punya hak “veto” itu? Mengapa mereka tidak mendayagunakannya? Ada apa gerangan di balik diamnya?

Sebagian pihak – terutama internal DPD – menuding tentang kualitas dan komitmen kepemimpinan yang tidak responsif, bahkan lebih menunjukkan main selamat sendiri (savety playing). Inilah gejala yang menonjol sejak periode kedua DPD (2009 – 2014). Namun, sebagian pihak menilai bahwa keloyoan DPD tak lepas dari kondisi internal yang kian tergerogoti elemen politisi dari anasir partai-partai politik yang berhasil masuk kandang DPD. Kehadiran orang-orang parpol di tengah lembaga DPD tampak belum mampu melepaskan cara pandang kepartaian, yang basis konsentrasinya adalah konstituen, bukan daerah sebagai locus utama.

Salahkah para politisi parpol memasuki kandang DPD sebagai pengabdian? Tidaklah konstitusional jika menyalahkannya. Namun demikian, kita perlu mereview landasan yuridisnya mengapa UU Pemilu tidak melarangnya? Hal ini menimbulkan tanya lagi, siapa penyusun UU itu? Lagi-lagi, DPR dituding sebagai pihak yang – secara langsung atau tidak – ikut bertanggung jawab atas minimalitas kinerja DPD, bahkan ketidakharmonisannya saat ini. Meski demikian, DPD – secara internal – atau elemen masyarakat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dapat mengajukan uji materi. Dan sampai detik ini belum pernah dimohonkan uji materi ke MK terkait persyaratan larangan calon anggota DPD yang berlatar-belakang parpol. Setidaknya, pembolehannya setelah masa jeda tidak berpartai selama satu periode (lima tahun), misalnya.

Sangat boleh jadi, ketiadaan permohonan itu karena – secara kelembagaan – kelompok DPD nonparpol selalu kandas dalam proses internal. Atau, juga karena ewuh-pekewuh, sehingga tak mau memproses hukum lebih jauh untuk mensterilkan DPD dari anasir parpol. Jika sikap psikologis ini yang menonjol, barisan DPD nonparpol harus menelan pil pahit. Kini, sedang terjadi arus besar parpolisasi DPD yang lebih liar. Jika DPR dapat dibatasi keliarannya karena ada sistem fraksi, sementara DPD tak kenal fraksi, sehingga ekspresi politiknya jauh tak terkendali. Sesama anggota DPD yang berlatar-belakang parpol punya kepentingan sama untuk mewarnai DPD dalam bingkai pola pikir dan tindakan kepartaian sesuai interesnya.

Kini, para politisi DPD nonparpol harus menerawang sedih. Puncak dari parpolisasinya bukan lagi sekedar pengisian secara dominan dalam lembaga DPD, tapi menggeser kepemimpinannya, meski harus melawan secara hukum. Berangkat dari upaya pengubahan tata-tertib DPD No. 1/2017 terkait masa kepemimpinan dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun, dan – setelah diuji – Mahkamah Agung membatalkannya (Putusan MA No. 38P/HUM/2017), tapi putusan ini tetap diabaikan. Uniknya, MA yang telah membatalkan itu justru melantik hasil paripurna pemilihan ketua dan wakil ketua DPD yang baru itu.

Muncul renungan lebih jauh, mengapa MA melantiknya, bahkan menghadiri proses pemilihan ketua-wakil ketua DPD? Adakah tindakan hukum MA bagian dari skenario destruksi lembaga tinggi negara (DPD) atas dasar pesanan pihak tertentu? Dan dalam masa bersamaan, apakah elitis DPD – terutama Ketua terpilih – yang kini berunsur parpol itu juga bermisi hancurkan DPD? Semuanya, masih perlu diuji lebih jauh. Dalam kaitan tindakan MA, Komisi Yudisial perlu mengambil tindakan tegas: menilai jernih, sekaligus mengembalikan SK MA itu, sebagai konsekuensi proses dan mekanisme pemilihan yang ilegal. Dengan demikian, ilegalitas hasil parpurna DPD tertanggal 3 April itu juga layak dianulir. Juga – secara personal – perlu penilaian jernih, adakah manuver nakal dari tokoh-tokoh yang terpilih sehingga mampu menghadirkan Wakil Ketua MA dalam sidang paripurna dan melantiknya langsung hasil paripurna itu? Lebih jauh dari itu, kita perlu mereview lebih spesifik, adakah potensi pesanan politik konsesional dari anasir milyarder (cukong) terhadap pimpinan terpilih guna mengamankan proyek tertentu, katakanlah reklamasi yang kini sudah dihentikan hak pembangunannya atas perintah Pengadilan? Masih banyak teka-teki yang harus diusut di balik tragedi hukum yang menimpa DPD ini.

Masa Depan DPD
Problem hukum yang kini dihadapi DPD – secara integral – mengakibatkan dinamika internal yang sangat tidak sehat. Bukan hanya dualisme yang masih perlu kepastian hukum, tapi pada akhirnya ketidakharmonisan antar anggota. Kubu pro-kontra tak bisa terhindarkan. Dan hal ini – dalam masa sekitar 2 tahun terakhir ini dapat dibayangkan dropnya kinerja. Sungguh lengkaplah lebel DPD yang tak berguna. Lebel ini memperkuat pihak manapun, apalagi partai politik, bersuara lebih lantang: DPD perlu dan layak dibubarkan, karena memang tidak kontributif nyata bagi kepentingan negara, baik sebagai daerah ataupun penduduknya. Stigma ini – pada akhirnya – mengantarkan penilaian yang menguatkan bahwa hanya DPR-lah yang berperan nyata sebagai parlemen.

Tak dapat disangkal, DPD – sebagai anggota yang nonparpol – tak berdaya secara meaningful menghadapi desakan pihak manapun. Inilah masa-masa kritis DPD, apakah akan tetap bertahan dan ada, atau sirna sebagaimana yang dirancang-bangun sejumlah pihak yang selama ini kecut terhadap DPD? Tantangan berat. Namun demikian, masyarakat luas di Tanah Air ini – terutama yang memahami fungsi dan makna strategis DPD – masih tetap mendambakan eksistensinya. Barisan ini tetap melihat bahwa DPD akan menjadi opsi politik yang harus dibela perannya, apalagi kecenderungan kongkalikong DPR RI – Pemerintah semakin menguat.

Keberpihak konstruktif sebagian publik itu harus direspon positif sekaligus diterjemahkan dalam tindakan nyata. Yang pertama dan utama adalah deparpolisasi lembaga DPD dengan menguji materi ke MK. Hal ini bukanlah pembatasan hak politik warga negara yang dijamin UUD, tapi atas nama maksimalisasi kinerja DPD sebagai bagian dari parlemen yang efektif. Atas nama itulah, maka sterilisasi komponen DPD dari anasir parpol tak perlu lagi ewuh-pekewuh, karena hasil uji materinya berlaku efektif untuk periode mendatang (per 2019).

Akhirnya, kisruh DPD yang memalukan itu kini menyisakan agenda yang telah lama dipersiapkan, yaitu amandemen kelima, yang berpotensi hilang atau menguap. Meski kini sistem ketata-negaraan kita sedang amburadul dan karenanya perlu penataan ulang melalu amandemen tentunya, namun agenda ini menjadi terkendala serius oleh situasi DPD mutakhir. Lembaga DPD sebagai motor perubahan konstitusi menjadi kehilangan daya dan marwah, sementara MPR dari anasir DPR sama sekali tak bisa diharapkan peran konstruktifnya untuk merancang-bangun perubahan (amandemen) yang didambakan mayoritas anak bangsa yang galau ini.

Lalu, akankah seluruh komponen bangsa ini membiarkan keamburadulan itu? Jawabnya bisa pasrah, atau tetap terpanggil, sembari hukum alam yang bicara. Pintu masuknya, bisa dampak pilkada curang atau penyelenggara negara yang terus menyakiti rakyat karena praktik diskriminasinya di bidang hukum, ekonomi atau lainnya, sehingga terjadi mobilisasi massa secara naluriah. Jika terjadi tragedi seperti 1998, sepertinya itulah momen DPD untuk lalukan restrukturisasi secara mendasar. Karena itu, persiapan konsepsional dan mental tetaplah bermakna sembari menanti momentum tragis nasional. Wallahu `alam.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...