JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy, mengatakan ada enam provinsi yang mengalami defisit keterwakilan. Provinsi tersebut ialah Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat dan Papua.
"Setelah kita kaji ulang, ternyata ada enam provinsi dengan 19 kursi yang defisit. Ini harus diselesaikan, dilengkapi untuk memenuhi asas keadilan dan kesetaraan," jelas politisi F-PKB ini saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu sore (18/5/2017).
Dia menilai harga kursi di ke-enam provinsi tersebut sangat mahal, satu kursi bisa setara dengan dua kali lipat perolehan suara di daerah pemilihan lain, sehingga untuk mensiasati hal ini, maka diperlukan penambahan 19 kursi DPR. "Bisa ditambah, tapi kalau berat 19 kursi, maka implikasinya ada daerah yang harus dikurangi," ucapnya.
Edy menambahkan ada beberapa provinsi yang justru mengalami kelebihan kursi, diantaranya Sulawesi Selatan 4 kursi, Sumatera Barat 3 kursi, Jawa Timur 1 kursi dan Jawa Tengah 2 kursi.
Dengan begitu, sambungnya, pansus memiliki beberapa pilihan yakni, menambah 19 kursi tanpa mengurangi jumlah kursi berlebih di daerah lain sehingga menjadi 579, atau secara ekstrem 19 kursi di daerah pemilihan lain harus dikembalikan tanpa menambah, sehingga tetap menjadi 560 kursi.
Namun, menurut Edy, hal ini tentu saja akan mengundang penolakan dari sejumlah pihak, sehingga jalan tengah yang terbaik adalah pansus akan mentolerir maksimal kelebihan 1 kursi. Misalnya, Sulawesi Selatan yang over 4 kursi, hanya perlu mengembalikan 3 kursi. Hal ini bisa dimaklumi, dengan pertimbangan peningkatan jumlah penduduk 5 tahun mendatang.
"Kalau itu bisa disepakati, maka hanya menambah 10, tidak lagi 19. Artinya, 560 menjadi 570," paparnya.
Ia juga meminta pemerintah agar lebih matang dalam melakukan perhitungan. Keinginan pemerintah yang hanya menyetujui penambahan 5 kursi DPR dinilai tidak berlandaskan teori. "Silahkan dirasionalkan, artinya kalau pemerintah nggak mau nambah, maka daerah lain dikurangin," tegasnya.
"Jadi jangan kita biarkan dampak defisit ini, selama ini mereka selalu bersuara tapi diabaikan. Harus diselesaikan dulu demi keadilan atas perlakuan kebijakan masa lalu yang tidak berlandaskan teori," tandas Lukman.(dia)