Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) pada hari Minggu, 28 Mei 2017 - 15:26:22 WIB
Bagikan Berita ini :

Jenderal Gatot Nurmantyo : Siapa Lagi yang Kita Cari?

9820170511_172139.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Mudah-mudahan tidak keliru. Jenderal Gatot Nurmantyo memberikan isyarat yang semakin jelas tentang apa yang ingin dia lakukan untuk Indonesia. Terakhir, Gatot mendobrak ketabuan yang selama ini tersemat pada TNI bahwa tentara “memiliki keistimewaan” dalam hal pertanggungjawaban penggunaan anggaran.

Selama ini, masyarakat meyakini bahwa lembaga apa pun di Indonesia ini, termasuk KPK, tidak akan bisa menjangkau militer jika ada dugaan korupsi. Ternyata, memang seperti itulah yang terjadi. Selama puluhan tahun, nyaris tidak terdengar kasus korupsi di lingkungan TNI. Padahal, di semua kementerian dan lembaga tinggi negara, ada korupsi. Menjadi tak masuk akal TNI bersih.

Kenyataannya, ada kasus korupsi Bakamla. Menyusul sekarang ini kasus korupsi pengadaan helikopter TNI AU. Ada tiga anggota TNI-AU diumumkan sebagai tersangka korupsi helikopter AW-101. Negara dirugikan 220 miliar rupiah. Di kantor KPK, Jumat (26/5) Panglima TNI mengumumkan seorang tersangka berbintang satu, seorang lektol, dan seorang pelda.

Tidak salah kalau apresisasi dialamatkan kepada Jenderal Gatot. Sebab, belum ada selama ini Panglima TNI yang merelakan institusi militer itu diselidiki penggunaan anggarannya. Ini tidak hanya sinyal yang tegas kepada semua anggota TNI, tetapi juga merupakan isyarat yang lebih luas tentang komitmen pribadi Jenderal Gatot untuk Indonesia.

Indonesia yang lebih baik. Indonesia yang berkeadilan. Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum. Indonesia yang bebas dari pengistimewaan terhadap lembaga apa pun, termasuk lembaga yang mengendalikan kekuatan senjata. Indonesia yang bebas dari “saya ini punya pasukan, jangan coba-coba”. Indonesia yang semua sama dalam kebersamaan.

Apakah Jenderal Gatot sedang melakukan manuver untuk mencari popularitas? Saya pribadi tidak memiliki perasaan seperti itu. Instink saya berkata bahwa Jenderal Gatot berbuat tanpa motif politik. Mungkin banyak orang menduga dia sedang mencari perhatian publik. Saya berpendapat, publiklah yang tersedot perhatiannya kepada Gatot Nurmantyo; bukan karena dia melakukan sesuatu yang aneh melainkan karena dia melakukan langkah yang selama ini tidak dikerjakan oleh seorang pemimpin.

Jenderal Gatot melakukan gebrakan Jenderal M Yusuf plus. Dulu, kata orang, Jenderal M Yusuf sempat membuat Pak Harto “khawatir” karena Panglima ABRI itu sangat dekat dengar prajurit TNI. Padahal, M Yusuf hanya ingin membuat tentara lebih sejahtera.

Gatot Nurmantyo tidak seperti panglima-panglima pendahulunya. Dia ingin anak buahnya sejahtera, tetapi sekaligus ingin agar bos-bos militer tidak korupsi. Inilah yang saya sebut “M Yusuf plus”. Apakah ini berarti di zaman M Yusuf dulu, dan masa-masa berikutnya, bos-bos militer bebas melakukan korupsi? Saya tidak punya jawabannya.

Saya yakin Pak Gatot punya catatan tentang itu. Sebab, beliau pastilah telah melewati jenjang kepangkatan dan berbagai jabatan strategis yang memiliki akses untuk melihat bagaimana penggunaan uang anggaran TNI. Bisa jadi pada saat ini beliau merasa sudah waktunya memulai pembersihan di lingkungan TNI.

Sudah menjadi pengetahuan umum tentang sekian banyak jenderal yang memiliki kekayaan yang “tak masuk akal”, dan begitu banyak pula jenderal yang “tidak punya harta”.

Saya yakin, Pak Gatot merasa tranparansi sudah harus menjadi norma baru di TNI. Selama ini banyak orang melihat TNI sebagai instansi “audit-free zone” (zona bebas audit). Sekali lagi, apakah ada motif “profiteering” (ambil keuntungan) dari gebrakan Jenderal Gatot? Saya jawab, kecurigaan seperti ini hanya menunjukkan frustrasi Anda saja.

Kemudian, untuk apa pula Jenderal Gatot berpuisi soal keadilan sosial kemarin itu? Bukankah ini satu lagi siasat mencari dan mencuri perhatian? Jawaban saya, Anda memang orang yang tidak suka Indonesia menjadi lebih baik.

Anda akan mengatakan, Gatot Nurmantyo berambisi menjadi pemimpin level berikutnya setelah keluar dari dinas militer. Jawaban saya, nothing wrong with it. Bukan masalah! Kalau beliau punya kapasitas dan komitmen yang teguh untuk memperbaiki Indonesia, apa salahnya?

Kalau dia ingin melihat korupsi lenyap di semua lini dan institusi, mengapa tidak? Kalau dia ingin menegakkan keadilan sosial di Indonesia, apa yang salah? Kalau dengan pemikirannya itu dia ingin menjaga kebersamaan dan persaudaraan di Indonesia, mengapa pula Anda berkeberatan?

Kalau dengan segala pengalaman, kapasitas dan integritas yang dimilikinya, dia bisa memulihkan Indonesia lewat pilpres 2019, siapa lagi yang kita cari?(*)

(Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...