Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR) pada hari Rabu, 21 Jun 2017 - 09:16:07 WIB
Bagikan Berita ini :

Tailaso di Parlemen

50SAVE_20160822_125409.jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR) (Sumber foto : Ilustrasi oleh Kuat Santoso )

Tulisan 13 tahun lalu, saya angkat untuk memulai diskusi perang DPR vs KPK + Polri.

Begitu rumitnya memahami latar belakang puisi Aslan Abidin. Saya seolah membaca psikografis seorang Bugis. Lalu, seolah ada tilas romantisme Khalil Gibran. Tapi, tidak juga: Aslan sudah jungkir balik, mencoba jujur kepada kata. Pasnya, saya terpaksa memakai ungkapan Goenawan Mohamad: Aslan Abidin bukan pembaharu tapi pemberontak romantisme libido!

Tentu, tak mudah, karena libido terlanjur dianggap aib, padahal semua syahwat disediakan oleh Al Qur-an secara telanjang, paling tidak kata Gus Dur. Jadi, mencoba berpuisi dengan keterusterangan ketelanjangan libido menjadi sukar alang kepalang. Apalagi bahasa libido primitif dan super tradisional disuguhkan untuk prasmanan orang-orang modern seperti kita kita hari ini. Diperumit lagi dengan diratifikasinya Undang-Undang APP, maka terjepitlah Aslan di antara sopan santun, tembok ilahiah, jalan berkelok adat istiadat, fatwa propetik, kealiman basa-basi, kemunafikan yang dijustifikasi, demokrasi pura-pura alias yahannu alias bo-ong-bo-ongan, plus undang-undang pornografi dan pornoaksi.

Untunglah saya dibantu oleh dua artikel dalam Antologi Puisi Aslan Abidin “Bahaya Laten Malam Pengantin” itu. Tulisan pertama, dari Ian Campbell berjudul “Esai Pengantar”. Tulisan kedua, “Ironi-Kemaluan-Tragis” yang, dikarang Aslan Abidin sendiri, dilengkapi catatan kaki pula. Sebagaimana ia kemukakan di sajak-sajaknya itu, Aslan coba menyusun romantisme epik dari keberingasan libido SEKWILDA (sekitar wilayah dada) sampai SEKWILPA (sekitar wilayah paha). Jadilah sajak-sajak indah mbeling seniman Bugis itu!

Linier dari semua aspek warna-warni kegenitan sajak libido ontologi Aslan itu, ada satu kata yang saya ingin berikan penekanan politik yang tak kalah genital, karena Aslan memandang politik dari tabir SEKWILDA dan SEKWILPA dalam rangka memberi nyawa kalimat birahi menjadi sebuah makna yang mencekam. Yaitu, ‘Tailaso’ yang, artinya penis besar.

Saya pasti tak paham, apakah tatkala Aslan mengutip Sigmund Freud, ia juga merujuk absurditas teorema penis envy-nya Freudian: “kaum perempuan telah begitu mandah menjadi warga kelas dua setelah kaum adam disebabkan demikian ngerinya perempuan mengetahui penis besar atau tailaso”.

Adalah fakta, Tailaso bukan cuma punya Aslan dan Freud, tapi juga berhasil menggegerkan jagad parlemen. Tipologi ‘tailaso’ tersebut, ingin saya tambahkan ke glossary satir Aslan untuk sekadar membuktikan bahwa kita kita, sesungguhnya sangat naif, sejak akar rumput hingga paling elitis.

tailaso ala Politik

Tahun 2004 saya masuk parlemen di Senayan. Menghuni Komisi III DPR yang membidangi hukum, perundang-undangan, HAM dan keamanan nasional. Patrner kerja komisi itu: Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian, KPK, PPATK, Komnas HAM, Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, Komisi Yudisial, berikut derivatnya. Kerja dengan lembaga-lembaga itu presticious dan elistious. Paradoksnya, di forum orang-orang terhormat itu, saya pertama kalinya bersua kata Tailaso. Keduakalinya, ya, di Antologi Puisi Aslan Abidin ini.

TKP (locus delicty) hari awal sua, di sidang gabungan Komisi II dan Komisi III, Tailaso muncul seru. Peserta sidang, Jaksa Agung Abdurahman Saleh sebagai terundang. Materinya, fokus ke lebih 400 lebih Anggota DPRD yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Separuh berasal dari PDIP, separuhnya dari Golkar, sedikit dari parpol lainnya.

Hearing itu mempersoalkan penggunaan PP 110 yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, tapi terus dipakai oleh Penuntut Umum untuk menangkapi Anggota DPRD. Karuan Golkar dan PDIP meradang, untuk balik mengadili Jaksa Agung. Ada memang celah hukum yang bisa dipersoalkan untuk menghajar praktik teknik yuridis tatkala jaksa menangkap dan memeras Anggota DPRD tadi -- sejak aspek lidik, sidik, hingga litigasi - penuntutan dan penghukuman.

Yaitu tadi, PP 110 itu sudah dijudicial-review hingga lenyap. Selain itu, requirements teknik yuridis suatu tindakan bisa dikategorikan korupsi (extra ordinary crime) menurut UU No 17/2004 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan derivatnya. Jadi, bergabunglah Komisi II yang membawahi Depdagri dengan Komisi III untuk memaksa Jaksa Agung melepaskan Anggota DPRD dari dakwaan korupsi dan penjara sejauh menggunakan PP 110 itu.

Jaksa Agung baru – nonkarier, tapi mantan Tuada Was (Ketua Muda Pengawasan) Mahkamah Agung, Abdurrahman Saleh SH, yang kebetulan tetangga di Arus -- duduk di kursi deretan pertama. Para Jaksa Agung Muda di deretan kedua. Kami, para vocalis, umumnya duduk tersembunyi paling belakang di kursi seberang.

Sidang berjalan tertib hingga menit ke 37. Menit ke 38, giliran Anhar Nasution dari FPBR bertanya, diantar dengan pepatah-petitih a la Medan. “Jaksa Agung kayak ustadz di kampung maling”, ujar Anhar, dengan sindiran orang Melayu yang khas. Sekonyong-konyong ruang yang diliput ratusan wartawan itu gaduh oleh teriakan Jaksa Agung Muda Pengasawan bermarga Lopa -- ia memang adik Baharudin Lopa -- berteriak beringas, menuding ke arah kami, mengangkat tangannya yang terkepal, berseru lantang: “Tailaso!”

CARA JITU MENCOPOT JAKSA AGUNG

Saya sebenarnya tak begitu paham apa itu Tailaso. Saya agak TELMI. Reaksi rekan-rekan di samping saya yang gusar duluan. Gusar luar biasa. Tiba-tiba Trimedia Panjaitan melompati kursi, sambil menyeru, “Wah, kita ini preman yang baru akan insyaf, diajak berantem!” Saya ikut berdiri, merangsek ke depan, ikut berteriak, “Keluarkan para Jaksa Agung Muda. Kami hanya mengundang Jaksa Agung. Keluar!”

Sidang itu bubar dengan ketegangan mencekam a la elite. Malamnya kami rapat, diputuskan untuk melakukan penyelidikan dan mengajukan petisi kepada Presiden mengenai “contempt of parlement” itu. Sejumlah rekan memanfaatkan tempat acara perkawinan putri Kapolri Sutanto di Sahid Hotel Jakarta untuk informal meeting dengan Amien Rais.

Esoknya, saya diberitahu bahwa petisi akan diluncurkan. Isinya: mencopot Jaksa Agung! Lho. Saya tak setuju konten itu. Saya setuju petisi dinaikkan hingga ke “contempt of parlement” di ranah pidana, bukan di ranah politik untuk mencopot Jaksa Agung. Bukan itu deal-nya kemarin. Kejauhan! Jadi, saya juga menyusun Kontrapetisi. Esoknya, PDIP yang semula bergabung dengan Golkar, pindah dan bergabung dengan Kontrapetisi bersama saya.

Mengapa harus Kontrapetisi? Karena sebulan sebelumnya, saya menyanggah pernyataan Profesor Muladi. Ikhwalnya, tak ada hujan tak ada badai, sekonyong-konyong Muladi menyatakan, “Siap menjadi Jaksa Agung!”.

Saya keberatan dengan pernyataan Muladi itu. Selaku pakar hukum, ia seksama adanya Jaksa Agung definitif. Pernyataan seperti itu, sama halnya menyatakan Jaksa Agung yang absah tak layak -- setidak-tidaknya, layak diganti. Pernyataan Kontrapetisi dengan latar belakang moral hazard Golkar dimuat koran Kompas.

Saya paham Golkar ingin menggantikan Abdurahman Saleh dengan Profesor Muladi, sedangkan PDIP ingin mengganti Abdurahman Saleh dengan Profesor Achmad Ali. Masalahnya, keduanya tak konstitusional. Untuk itu dibuatlah skenario Tailaso itu untuk menjebak Abdurrahman Saleh.
Esoknya, Fraksi Golkar mensomasi saya. Somasi yang keliru! Opo tumon ada anggota dewan disomasi oleh anggota dewan? Cuma di Senayan. Dan, tematiknya lebih konyol: Tailaso!

Jadi ketika membaca Antologi puisi Aslan Abidin, termuat kata Tailaso, dan diangkat pada pengantar buku, saya seolah merasa punya kedekatan luar biasa, lebih dari sajak-sajak romantis Aslan (yang dosen di UNHAS).

“Aslan anak Bugis itu, tak kalah penting bagi kami yang masyarakat laut, seperti komunitas patroari menggunakan perangkat bahasa itu sebagai syair yang menyenangkan. Lain pula dengan masyarakat daratan Sumsel, kelamin, tentu dengan bahasa setempat dipakai dalam kebutuhan memakai seperti tailasomu (laso [bugis/makasar] = penis). Penggunaan kata ‘kotor’ itu berbeda dengan masyarakat semisal Jawa yang, memakai kata, kalimat, dan sumpah serapah dengan cara mendayagunakan nama anggota tubuh lain, semisal batokmu atau matamu. Perilaku bahasa masyarakat tempatnya tumbuh itu pun, bisa menjadi referesensi terkait kata yang digunakan Aslan dalam bersajak untuk memaksimalkan glosari kelamin dan alat genital menjadi perangkat bahasa”.

Maka jangan heran -- dan tidak kebetulan -- bila Aslan mengolah dan menyandingkan dengan kosa kata dan narasi tentang kekuasaan dalam sajaknya, seperti terpapar jelas di “Rajah Diantara Kedua Buah Dada”, “Homme Statue”, “Phalusentris” atau “Puncak Agustus 2002”.

Di tempatnya tumbuh, Sulsel, Aslan bertindak sebagai warga yang merekam kedangkalannya praktikum aturan aparatur negara, penderma kritik dan masukan. Menurut saya, Antologi puisi Aslan Abidin itu mampu merekam fenomena antrop sekaligus sosiologis dalam bentuk sajak orgasme.

Sajaknya seolah ingin bicara apa adanya. Kejujuran sajak libido Aslan, melangkahi tapal batas susastera kesantunan publik, diejawantahkan dengan kaidah penulisan occasional poetry bergelimang enigma pula. Betul, itulah momen opnam kegelisahannya atas kondisi sospol.

Aslan Abidin mengilustrasikan sikon politik tadi sebagai “Ritual Kepiluan” dengan nada satir. Dalam balutan metafora ketelanjangan fenomena Pemilu, Aslan menertawakan pesta demokrasi, tak lebih dari pemenjaraan jiwa dalam Kotak Pandora.

Sajak “Rakyat Perah” nya menyentil gelitik kesadaran pembaca atas proses paling penting dalam Pemilu. Yaitu, punahnya ‘rational choice’. Proses tipu daya politik oleh para aktor di pentas politik saat itu memeuhi catatan satirnya.

Aslan Abidin saya kira sudah mengantarkan kritik sosialnya dengan metafora tak lazim, yaitu sajak libido, tapi dengan tak berusaha berdusta kepada kata. Sulga ya Robb. Wass. Desa. Pamekasan.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...