Opini
Oleh Hadi S Alikodra (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) pada hari Sabtu, 24 Jun 2017 - 14:23:08 WIB
Bagikan Berita ini :

Mudik Lebaran di Kampung yang Gersang

77IMG-20170620-WA0029.jpg
Hadi S Alikodra (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) (Sumber foto : Istimewa )

Ritual mudik atau pulang kampung saat Hari Raya Idul Fitri menyisakan banyak kenangan dan keprihatinan. Ada kenangan indah ketika kita bertemu orang tua dan sanak saudara; bertemu sahabat masa kecil; saling meminta maaf dan mendoakan untuk kebaikan bersama; lalu menapak tilas kampung yang membesarkan kita. Di sisi lain, ada keprihatinan bila melihat kampung kita yang makin gersang; sungai-sungai yang airnya kotor dan mengering; pohon-pohonan yang kurus meranggas; dan rekahan tanah sawah yang makin luas dan tak terurus.

What’s wrong with our kampong? Ada sesuatu yang salah sehingga keindahan kampung seperti dilantunkan penyanyi balada Leo Kristi makin sulit kita temukan. Kampung kami di Indramayu, misalnya, makin lama makin tampak kurus dan layu. Pepohonan besar yang rindang makin jarang kita temukan lagi. Hutan-hutan kecil di kampung kini tiada lagi. Sepanjang jalan Pantura – Jakarta Indramayu, kini dipenuhi “pohon-pohon beton” yang menjulang ke angkasa. Menggantikan pohon asam, mahoni, baujan yang dulu subur dan teduh menyejukkan udara sekitarnya.

Banyak hamparan tanah yang gersang dibiarkan pemiliknya. Mungkin sudah dijual oleh penduduk kepada para pengembang. Tanah itu tampaknya sedang dipersiapkan untuk diubah peruntukannya. Dari sawah ke perumahan atau perkantoran.

Tanah di Jawa Barat – khususnya sepanjang pantai utara (Pantura) – paling banyak berubah peruntukannya. Ratusan perumahan, pabrik, perkantoran, hotel, restoran, dan lain-lain telah menggantikan tanah pertanian dan perkebunan di Pantura Jabar. Sementara hutan di Jawa Barat kini mulai koleps. Hanya tinggal 13% dari luas tanah Jawa Barat. Padahal seharusnya minimal 30%. Ngenesnya yang 13% itu pun tak terurus, kropos di sana sini, dan diam-diam terus berkurang luasnya. Kedekatan wilayah Jawa Barat dengan Jakarta menjadikan wilayah provinsi ini menjadi incaran investasi orang kota.

Aku kaget bila melihat betapa banyaknya lahan sawah dan kebuh sepanjang Pantura Jakarta Indramayu yang kini berubah menjadi perumahan, perkantoran, industri, dan lain-lain. Bahkan lahan-lahan di pedalaman kamung pun sudah banyak yang berindah tangan ke orang kota. Orang desa yang punya tanah warisan luluhur hanya “menumpang” pada oang kota yang telah membeli tanahnya. Tak lama lagi, banyak lahan sawah milik tetangga dan teman-temanku akan berubah menjadi bangunan rumah, hotel, dan lain-lain. Oh … kampungku?

Gersangnya kampungku di Indramayu hanyalah “seupil contoh” dari gesangnya kampung nusantara. Makin gersangnya kampung itu kini terjadi di mana-mana, di seantero Indonesia. Kenapa terjadi?

Riwayatnya panjang. Setelah reformasi, di bawah kebijakan ekonomi yang pro kapital, penguasaan dan pemanfaatan tanah lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan korporasi. Akibatnya, banyak tanah mengalami perubahan fungsi. Tanah yang sebelumnya didiami oleh warga kampong pun banyak yang dirampas “Negara” demi kepentingan kapital tersebut.

Kontradiksi terus terjadi secara masif antara pemegang hak guna usaha (HGU) Perkebunan melawan para petani; antara Pemegang izin usaha perkebunan (IUP) berhadapan dengan masyarakat; antara Pengembang (developer) dengan rakyat miskin; antara Kontraktor Pembangunan Infrastruktur dengan petani pemilik lahan; dan lain-lain.

Berdasarkan data, saat ini peruntukan tanah untuk perkebunan sawit sudah mencapai 8,9 juta hektar, sebanyak 59 persen berkonflik dengan rakyat. Tercatat ada 591 kasus konflik di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Di sektor kehutanan hal itu juga terjadi. Misalnya peruntukan hutan untuk industri mencakup 9,39 juta ha untuk 262 perusahaan, sementara Hutan Tanaman Rakyat hanya berkisar 631.628 hektar.

Di pihak lain, mayoritas petani Indonesia rata-rata hanya mempunyai 0,25 hektar lahan perkeluarga. Tragisnya 85% rumah tangga petani tersebut adalah petani gurem dan tak punya tanah. Dari data Kantor Agraria, di tahun 2015 misalnya, terjadi 252 konflik agraria pada luasan tanah 400.430 hektar. Konflik ini menyeret sedikitnya 108.714 keluarga. Korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang, dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan 278 orang.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa persoalan tanah dan kepemilikannya masih belum terselesaikan, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekaraang. Padahal masalahnya simpel saja: Jika semua pihak yang berkepentingan mengacu kepada Pasdal 33 UUD 45, maka persoalan akan selesai. Pasal 33 tersebut berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Apa itu kemakmuran rakyat? Apakah rakyat yang miskin itu makmur?. Apakah kampung yang makin gersang itu menunjukkan kemakmuran? Tidak. Meranggas pohon, hilangnya hutan, gersangnya iklim, dan hilangnya tanah pertanian di kampung-kampung bukanlah pertanda kemakmuran?. Malah sebaliknya: rakyat makin miskin. Rakyat tak berdaya menghadapi korporasi yang mengkremus tanahnya. Rakyat tak berdaya menghadapi korporasi yang merusak kampung halamannya.

Melihat semua itu, ritual mudik seperti nirmakna. Orang-orang kota yang mudik ke kampung hendaknya mencari solusi problem pembangunan di desanya. Agar desa tak gersang lagi, Agar keteduhan dan kenyaman desa muncul kembali.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin. Ayo, kita kembalikan kampung kita, agar kembali menjadi sorga yang hijau dan nyaman seperti dulu.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...