JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun memberikan analisanya soal pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).
"Ada tiga pendekatan yang digunakan dalam analisis ini. Pertama, perspektif behavioral approach (pendekatan perilaku) yang digunakan untuk mengamati perilaku politik para aktor politik. Kedua, perspektif historical approach (pendekatan sejarah) yang digunakan untuk menganalisis berdasar pengalaman historis mereka yang terlibat dalam peristiwa. Ketiga, perspektif rational choice approach (pendekatan pilihan rasional)," kata Ubedillah saat dikonfirmasi, Senin (26/6/2017).
Setidaknya, lanjut Ubedillah, ada tiga makna politik dari pertemuan itu. Pertama, pertemuan Jokowi dengan petinggi GNPF sebagai upaya dialog yang konstruktif antara kedua belah pihak yang selama ini berseberangan.
"Meski saya tidak terkejut dengan peristiwa itu karena ada Wiranto sebagai Menko Polhukam yang telah lama memiliki hubungan historis dengan kelompok yang secara kultural dekat dengan FPI sejak masa akhir kekuasaan Soeharto dan awal pemerintahan Habibie. Wiranto saat itu sebagai Menko Polhukam memiliki kedekatan dengan apa yang disebut waktu itu sebagai Pam Swakarsa," ungkap Ubed.
Kelompok pengaman yang dikesankan swadaya masyarakat ini, kata dia, sejenis kelompok 'milisi sipil Islam', yang memiliki peran untuk mengamankan situasi sosial politik Jakarta yang saat itu sedang bergejolak dalam menghadapi gerakan mahasiswa episode 1998-1999.
"Meski tidak ada hubungan langsung antara kelompok 'milisi sipil Islam' waktu itu dengan GNPF saat ini tetapi lebih kepada hubungan kultural karena ada FPI di GNPF yang secara kultural dekat dengan Pam Swakarsa," terangnya.
Kedua, menurutnya, perilaku politik pertemuan tersebut menguntungkan Jokowi.
"Jokowi mendapatkan gizi politik yang cukup tinggi karena berhasil mendudukkan petinggi GNPF MUI bercengkrama silaturahim di Istana, yang selama ini GNPF MUI sebagai representasi penting kelompok kritis pembela fatwa MUI yang memiliki kesan sebagai kelompok Islam independen dan seringkali dikesankan radikal intoleran oleh banyak pihak yang kurang memahami latar sosioreligius aktivis GNPF MUI," ujarnya.
Ketiga, petinggi GNPF-MUI kurang kritis dalam menyikapi pernyataan Jokowi dengan janji menyediakan 12 juta tanah untuk rakyat sebagai solusi perekonomian ummat.
"Selama ini berapa juta hektar tanah dikuasai yang lain dan selama ini 12 juta tanah itu milik siapa, dan berbagai pertanyaan lainya. Janji angka 12 juta tanah untuk rakyat semoga tidak meninabobokan siapapun yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan di republik ini, termasuk GNPF," tandas dia.(yn)