JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, telegram sulit disadap dan banyak digunakan teroris untuk sarana berkomunikasi. Kecanggihan aplikasi percakapan ini, kata dia, memicu terjadinya bibit teroris 'lone wolf' alias melakukan teror seorang diri.
"Jadi begini telegram ini dari hasil temuan Polri khususnya Densus 88 ada 17 kasus yang terkait dengan penggunaan telegram ini. Sekarang kan telegram ini udah tau bahwa yang namanya telepon bisa disadap, HP, SMS, sehingga akhirnya mereka bisa mencari saluran komunikasi yang aman buat mereka," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Pihak kepolisian, lanjut Tito, sudah mengidentifikasi selama dua tahun terakhir ini, dimana ditemukan 17 kasus terkait komunikasi terorime melalui telegram. Mulai dari kasus bom Thamrin.
"Kemudian sekarang ini juga berkembang fenomena lone wolf jadi mereka tidak terstruktur tapi masing masing bergerak sendiri menjadi radikal sendiri melalui penggunaan IT sekarang ini," ucapnya.
Jadi, kata ia, latihan pembuatan bon juga saat dilakukan secara online dengan mengunakan media telegram.
"Ini bisa mmbuat namanya super group, bisa membuat sampai 10.000 baik yang bisa privat bahkan bisa masuk kelompok lain, member lain, tanpa ketahuan adminnya siapa, beda dengan WA group yang ada adminnya," ucapnya.
Sebenarnya, lanjut mantan Kapolda Metro Jaya ini, pemerintah Indonesia tidak meminta pihak telegram menutup perusahaanya. Tapi pihak pemerintah, khususnya Polri dan bidang keamanan lainnya bisa diberi akses kalau sudah menyangkut urusan terorisme.
"Keamanana kami diberi akses untuk tahu siapa itu yang memerintahkan untuk ngebom, siapa itu yang menyebarkan paham radikal. Jadi kita diberi akses untuk penanganan terorisme, tapi tidak dilayani, tak ditanggapi," tandasnya.(yn)