Seperti apakah pendidikan karakter di sekolah-sekolah Indonesia sehingga Mendikbud Muhadjir Effendy ingin memperbaikinya dengan menerapkan full day school atau belajar delapan jam sehari di sekolah?
Kita tahu, belakangan ini muncul kritik pedas terhadap Kantor Mendikbbud yang dianggapnya gagal dalam mengelola pendidkan di Indonesia. Kasus contek menyontek dalam ujian nasional; kasus tawuran antarsekolah yang sering terjadi di mana-mana; kasus rendahnya minat baca; lalu kasus rendahnya disiplin -- menjadi contoh kegagalan pendidikan tersebut. Kenapa semua itu terjadi?
Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia, yang membuat kita terkejut tapi diam-diam mengakui kebenarannya. Bagi kebanyakan orang Asia, tulis Kwang, dalam budaya mereka ukuran sukses hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Sementara passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer dibanding profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat memperoleh kekayaan.
Bagi orang Asia, khususnya Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Hal inilah yang mendorong manusia Indonesia untuk melakukan korupsi agar bisa kaya dengan cepat.
Selanjutnya Kwang menyindir bahwa orang Asia, terutama Indonesia, yang menganggap pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” -- bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk perguruan tiinggi, dan lain-lain semuanya berbasis hafalan. Bahkan sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya; bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.
Karena berbasis hafalan, murid-murid dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit- sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Kwang sepertinya telah “menelanjangi” kebobrokan sistem pendidikan di Indonesia.
Muhadjir mestinya merombak sistem pendidikan yang “out of date” di Indonesia seperti gambaran di atas – bukan malah menambah jam pelajaran menjadi “full day school” yang tanpa arah. Hanya sekedar memberikan “waktu lebih” kepada guru agar bisa mengajar sesuai waktu ang dibutuhkan untuk dapat menerima uang sertifikasi yang nilainya sebesar gaji pokok!
Kritik Prof. Kwang di atas tampaknya perlu kita perhatikan. Bisa jadi, apa yang ditulisnya, benar adanya. Atau paling sedikit menyrempet persoalan motivasi dan filosofi pendidikan di Indonesia. Hal-hal mendasar seperti itulah yang harus dibenahi oleh kantor Mendikbud.
Minimnya pendidikan karakter dalam system pendidikan Indonesia bersifat multikompleks. Tak bias hanya diselesaikan dengan jalan memanjangkan waktu belajar seperti program full day school. Karakter anak muncul dari berbagai interaksi pergaulan, komunikasi, literasi dan lain-lain – bukan dari pengajaran di sekolah semata.
Pendidikan agama, misalnya, seharusnya tidak hanya semata bersumber dari textbook atau kitab akhlak. Tapi juga keteladanan perilaku guru-gurunya. Pepatah menyatakan, keteladanan adalah mata pelajaran yang seribu kali lebih efektif dari bacaan.
Pendidikan pesantren, misalnya, mempunya figur kyai atau ulama yang mengasuh pesantrennya. Para ulama dan ustad pengauh pesantren itu sejatinya “guru-guru” yang mendidik karakter santri. Di sekolah? Apakah guru-gurunya bisa jadi teladan perilaku anak didik?
Sebuah pertanyaan yang jawabannya adalah sebuah kebijakan untuk membenahi sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #