Opini
Oleh Mukhaer Pakkanna, Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta dan peneliti Cides pada hari Jumat, 18 Agu 2017 - 08:21:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

60MUKHAER PAKKANNA-2.jpg
Mukhaer Pakkana, Ketua STIE Ahmad Dahlan, Jakarta (Sumber foto : dok/TeropongSenayan)

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 72 tahun lalu, seyogianya telah mampu melepaskan nasib anak bangsa dari belenggu penderitaan. Dalam perjalanannya, penjajahan dalam format baru belum mampu kita enyahkan. Pemusatan kekuatan ekonomi masih terakumulasi pada segelintir pemodal kakap dengan sokongan kuasa oligarki politik. Dalam konteks inilah, dalam membangkitkan prakarsa rakyat yang sudah lama terhempas di negerinya sendiri, Bung Hatta (1961) dan Adi Sasono (2013) menawarkan tema utama gerakan, kerakyatan, kemartabatan, dan kemandirian ekonomi.

Dalam diktum pemikiran pembangunan strukturalis, Sritua Arief (2000) pernah menyampaikan, proses akumulasi dan perubahan sosial-ekonomi di negeri-negeri jajahan dimulai dengan adanya pengaruh eksternal yang datang dari negara-negara kapitalis sebagai penjajah. Pengaruh eksternal ini mengejawantah dalam bentuk masifnya sektor ekspor bahan-bahan mentah dalam struktur ekonomi negeri-negeri jajahan, yang khusus dimaksudkan untuk menopang ekspansi sektor industri di negara-negara penjajah. Dalam konteks ini, negara-negara jajahan diperas (dieksploitasi) untuk menyokong surplus ekonomi negara-negara kapitalis maju.

Relasi Keterjajahan

Secara umum, pola relasi antara negeri terjajah dan negeri penjajah, sesungguhnya masih awet. Dengan dalih liberalisasi investasi dan perdagangan, kian menguatkan relasi negeri jajahan dan penjajah. Bahkan, negeri penjajah bukan saja dari benua Eropa dan AS, tapi telah menular secara masif ke negara-negara yang telah memiliki akumulasi kapital kuat.

Jika zaman kolonialisme primitif dilakukan secara kasar, bahkan dengan pendekatan fisik dan militer, maka saat ini proses relasinya dilakukan secara canggih (sophisticated) , bahkan dengan pola proxy-war dengan dukungan sistem informasi. Jika pada zaman kolonialisme primitif, menggunakan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) untuk menopang surplus ekonomi Negara kapitalis maju, maka dewasa ini menggunakan logika perdagangan bebas yang dikendalikan jaringan sistem teknologi informasi.

Kendati pendekatan relasi negeri jajahan dan negara penjajah antara kolonialisme primitif dan kolonialisme sophisticated berbeda, tapi yang pasti “bola liar” dari efek negatif yang dimunculkannya tetap sama. Surplus ekonomi tetap mengalir dari negeri jajahan ke negara penjajah, dari rakyat yang miskin ke orang-orang kaya. Akumulasi kapital terus menerus menumpuk ke segelintir pemodal kakap, sementara mayoritas rakyat miskin masih mengais-ngais riski yang tidak pasti, mempertahankan kesinambungan hidupnya.

Itu tandanya, kesenjangan masih mengemuka. Kesenjangan terjadi karena distribusi kekayaan tidak berjalan lancar. Terjadi akumulasi kekayaan yang menumpuk pada segelintir elite ekonomi dan politik, seperti yang pernah terjadi pada era cultuurstelsel. Dalam rancangbangun pola cultuurstelsel itu, di mana realitas ekonomi rakyat dipisahkan dari dinamika modernisasi ekonomi, telah menjadikan massa rakyat hanya sebagai tukang dan penonton. Penguasaan ekonomi lebih banyak ditentukan penguasa kapital domestik, yang telah berkolaborasi pihak asing dan jaringan korporatoktrasi global. Surplus ekonomi tersedot keluar di sertai modernisasi ekonomi yang tampil semu.

Apa yang kemudian terjadi di Tanah Air? Ekonomi bangsa sulit keluar dari dekapan pemilik modal asing. Nyaris semua barang dan jasa yang kita konsumsi tiap hari saat ini, ternyata bukan lagi produk dan karya anak bangsa, tapi produk pemodal dan pemilik asing. Pada produk barang konsumsi, seperti sabun Lux dan pasta gigi Pepsodent, yang sudah sekian turunan kita gunakan, ternyata milik Inggris, air mineral aqua (Danone milik Perancis); susu SGM (Numico, milik Belanda); teh Sari Wangi dan kecap Bango (Unilever milik Inggris); kecap, sirup, saus ABC (HJ Heins milik AS); rokok Sampoerna (Philip Morris milik AS).

Di bidang telekomunikasi, operator Indosat, XL, Telkomsel dimiliki Qatar, Singapura, dan Malaysia. Di bidang ritel, dengan Giant dan Hero (milik Malaysia), Circle K (milik AS), pabrik-pabrik semen, misal; semen Gresik (milik Meksiko), semen Cibinong (milik Swiss), sement tiga Roda (Heidelberger milik Jerman). Di industri perbankan, dari 120 bank umum di Tanah Air, lebih separohnya telah dimiliki asing. Mereka dibiarkan bebas memiliki 99 saham, yang tentu secara otomatis bisa merambah ke seantero pelosok negeri. Di negara-negara lain, misalnya China (hanya 25 persen), Malaysia (hanya 30 persen), Thailand (hanya 49 persen). Luar biasa memang liberalnya negeri Pancasila kita yang sudah merdeka 72 tahun ini!

Tuan di Negeri Sendiri

Melihat persoalan dinamika ekonomi seperti itu, menjadi jelas akar persoalan ekonomi, telah memproduksi kesenjangan dan ketidakadilan. Olek karena, penyelesaiannya tidak semata dengan pendekatan teori ekonomi primitif. Pendekatan politik, sosial, hukum, dan budaya, harus ikut angkat bicara (Swasono, 2000). Penguatan ekonomi domestik, yang dimaknakan penguatan produksi, distribusi, jaringan, dan konsumsi domestik, menjadi prioritas membangun ketahanan ekonomi rakyat.

Ini menandakan, gerakan ekonomi rakyat, kata Bunga Hatta (1961), sebagai tema pertama, menggambarkan semangat gerakan membangun ketahanan ekonomi rakyat sebagai landasan sistem kehidupan politik dan ekonomi nasional menjadi wahana mempercepat proses pembebasan bangsa dari kemiskinan dan ketergantungan asing. Kuatnya ketahanan ekonomi rakyat akan mengokohkan kegiatan kerakyatan.

Selanjutnya, tema kedua gerakan membangun kemartabatan ekonomi, menjelaskan, harga diri sebagai bangsa terhormat, lahir dari proses genangan darah dan air mata serta tulang belulang para pejuang bangsa. Ini jangan sampai digadai begitu saja demi tuntutan perut.

Demikian juga pada tema ketiga gerakan kamandirian ekonomi, menegaskan arah, ekonomi Indonesia harus berdaulat, harus menjadi tuan di negeri sendiri. Yang paling tahu dan memahami seluk beluk di negeri ini, hanya kita, rakyat Indonesia sendiri, bukan bangsa asing. Di mana pun negara yang maju ekonominya, mesti yang berdaulat dan menguasai kegiatan ekonomi adalah kaum bumi puteranya. (Pagedangan, 17/8/2017)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...