JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Setara Institut menilai Mahkamah Konsitusi (MK) telah menyelamatkan Ketua DPR Setya Novanto melalui beberapan putusan MK yang sudah dihasilkan.
"MK jadi panggungnya Setya Novanto dalam konteks persoalan hukum dan etika yang melilit Novanto," ujar Direktur Riset Setara Institue Ismail Hasani di Kantornya, Hang Lekiu, Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu (20/8).
Menurut Setara ada tiga perkara terkait Novanto yang diputus MK dan dinilai negatif. Pertama, soal pengujian UU Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor mengenai ketentuan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti.
MK dalam putusannya membenarkan bahwa rekaman adalah bukti sah. Namun alat bukti yang tidak didapat dengan cara sah menjadi tidak sah, maka bukti dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan. Bahwa penyadapan agar melindungi hak atas privasi warga negara harus dilakukan secara sah.
"Setara Institute memberi catatan negative terhadap putusan ini, hal ini merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum," tegas Ismail.
Dia menerangkan, dalam konteks penyelidikan dan penyidikan memang intersepsi hanya bisa dilakukan atas izin pengadilan yang dilakukan oleh penegak hukum, untuk tujuan menghindari kesewenang-wenangan.
Akan tetapi, jika bukti rekaman itu dimiliki oleh individu warga negara dalam interaksinya dengan pihak-pihak lain dan yang bersangkutan bukanlah penegak hukum, maka semestinya diberlakukan berbeda.
Kedua, mengenai pemufakatan jahat. Novanto menguji konstitusionalitas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, yakni Pasal 15 yang mengatur tentang pemufakatan jahat.
Menurut Novanto, dia tidak memiliki kualitas yang disyaratkan oleh undang-undang mengenai pemufakatan jahat. Baginya, pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.
Dan tindak pidana dalam pasal ini harus jelas mengacu pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal S sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor. MK mengafirmasi permohonan Novanto itu.
"MK memperjelas arti pemufakatan jahat yang intinya membersihkan citra Novanto yang terlilit persoalan etika," sebut Ismail.
Terakhir, putusan MK terkait Novanto yang bertone negatif yakni Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 menguji konstitusionalitas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor terkait frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
MK dalam putusan ini menggeser paradigma bahwa kerugian keuangan negara tidak lagi diartikan potensial loss namun merupakan implikasi.
Selain itu, menurut MK banyaknya terjadi kriminalisasi kebijakan yang didasarkan pada kerugian keuangan negara yang tidak jelas lembaga mana yang berhak menentukan maka frasa 'dapat' ini menciptakan ketidakpastian hukum.
Selain terkait perkara Novanto, ada dua putusan MK lainnya yang bernada negatif. Yakni tentang Jangka Waktu Pengajuan Tuntutan Ke PHI Oleh Pekerja dengan nomor putusan ll4/PUU-XIII/2015.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa jangka waktu merupakan jangka waktu yang proporsional menyeimbangkan kepentingan pengusaha dengan pekerja agar persoalan tidak berlarut-larut.
"Setara Institute, memberi tone negatif pada putusan ini didasarkan alasan pekerja dalam posisi yang tidak seimbang dengan pemberi kerj atau pngusaha, seharusnya hak pekerja dalam mencari keadilan untuk dirinya tidak dibatasi jangka waktunya," jelas dia.
Terakhir soal pendidikan khusus profesi Advokat. MK dalam putusannya menciptakan norma baru dengan menyatakan bahwa PKPA diselenggarakan oleh organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B.
Setara Institute memberi tone negatif pada putusan ini karena dinilai bias akan kepentingan perguruan tinggi, bahwa standar kompetensi hanya dapat dicetak oleh perguruan tinggi.
"Padahal dalam PKPA yang diajarkan adalah keterampilan yang bukan suatu pengembangan keilmuan baru yang selama ini diklaim menjadi domain perguruan tinggi," pungkas Ismail. (aim)