Opini
Oleh Syaefudin Simon (Kolumnis) pada hari Selasa, 26 Sep 2017 - 13:06:31 WIB
Bagikan Berita ini :

Pak AR dan Keturunan Nabi

93IMG_20170709_155721.jpg
Syaefudin Simon (Sumber foto : Istimewa )

"Kang Udin, Idul Fitri lalu keluarga besar kami mengadakan khaul di Panguragan,” kata Agus Ibnu Akil, teman lama yang lebaran Idul Fitri (1437 H) bertemu dengan saya di masjid Arjawinangun. Panguragan adalah sebuah desa yang punya keistimewaan di masyarakat Cirebon. Konon, tanah di Panguragan bisa dipakai untuk jimat menghancurkan keluarga atau bisnis seseorang. Tapi di sebelah kampung Panguragan ada desa bernama Lemah Tamba. Jika seorang yang keluarga atau bisnisnya hancur karena tulah tanah Panguragan, maka bisa diobati dengan tanah dari Lemah Tamba. Dalam bahasa Cirebon, Lemah Tamba berarti tanah untuk mengobati.

Pernyataan Agus saat bertemu pertama kali sesudah lima tahun gak jumpa tersebut membenarkan “guyonan” Kyai Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU: Kalau dua orang NU bertemu maka yang diobrolkan pertama kali adalah masalah khaul.

“Kalau dua orang NU bertemu, obrolan pertama adalah kapan menghadiri khaul. Kalau dua orang Muhammadiyah, kapan membangun TK,” kata Mbah Hasyim saat ceramah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta beberapa tahun lalu. Hadirin pun geerr, tertawa. Maka tak heran, di mana-mana ada taman kanak-kanak Muhammadiyah, lanjut Mbah Hasyim.

Yang menarik adalah obrolan Agus selanjutnya. “Kang Udin, saya baru tahu kalau saya ini masih keturunan Joko Tingkir. Joko Tingkir adalah mbah-buyut ketujuh dari kakek pihak ibu,” kata Agus bangga. Jadi saya ini mungkin turunan ke-10 dari Joko Tingkir, tambahnya. Kalau keturunan Joko Tingkir ini mengadakan khaul, jumlahnya sudah banyak sekali. Khaul kemarin saja, kata Agus, yang datang ribuan orang dari berbagai daerah.

Saya pikir itulah salah satu manfaat khaul, tradisi yang dijalankan warga Nahdhiyyin untuk memperingati hari kematian seorang ulama atau tokoh berpengaruh. Khaul merupakan sarana untuk mempersatukan “aliran darah secara genealogis” dari nenek moyang yang tersebar di mana-mana. Dan itu merupakan potensi besar untuk menggerakkan pembangunan dan pemberdayaan umat. Jika saja sarana khaul ini jadi “trigger” untuk pembangunan pendidikan dan ekonomi umat, niscaya hasilnya besar sekali.

Di Amerika, misalnya, ada Universitas Cornell di Ithaca, New York, di mana universitas tersebut didirikan di atas tanah warisan keluarga Cornell. Almarhun Prof. Dr. Benedict Andersen, secara panjang lebar pernah menjelaskan asal-usul Universitas Cornell kepada saya waktu mampir ke rumahnya tahun 1995 di Ithaca, dekat kampus Cornell, New York. Dari penjelasan Pak Ben – panggilan akrab Guru Besar Sosiologi Politik Cornell University itu – saya berkesimpulan bahwa “khaul” Keluarga Cornell telah bertransformasi menjadi institusi pendidikan yang berkelas dunia.

Di dunia bisnis, ada Wallmart, perusahaan consumer product yang dikelola keluarga besar Walton. Dan masih banyak lagi kisah sukses lembaga pendidikan dan bisnis yang dikelola trah tokoh-tokoh besar dunia. Bill Gates, orang terkaya dunia, misalnya, kini tengah “mengkhaulkan” keluarganya dengan membentuk Melinda-Gates Foundation; sebuah yayasan dengan misi pemberdayaan orang-orang dhuafa di muka bumi.

Dengan demikian, tradisi khaul bisa menjadi sarana yang amat baik bila digerakkan untuk pemberdayaan umat. Dari aspek inilah, Agus memang patut berbangga karena dirinya masuk dalam kerabat Joko Tingkir. Yang jadi masalah, So what next with The Joko Tingkir blood? Itulah pertanyaan yang harus dijawab secara kreatif oleh Agus dan trah Joko Tingkirnya.

Saya tak pernah tahu siapa nenek moyang keluarga saya di Cirebon. Hanya saja, saya pernah ngobrol dengan seseorang yang mengaku keturunan Patih Gajahmada dari Majapahit dan konon tahu nenek moyang saya.

“Mas Simon saya ikutkan dalam misi pembangunan kampung-kampung di Jawa dengan dana harta karun ini,” kata keturunan Gajahmada itu kepada Pak Bambang Pranowo, guru besar UIN Jakarta. Harta karun yang dimaksud adalah dana revolusi milik Bung Karno yang konon nilainya mencapai ribuan trilyun dolar AS. Dana ‘imajiner’ yang konon tersimpan di berbagai lembaga keuangan di Eropa dan Amerika itu sampai hari ini sering jadi obsesi orang-orang tertentu untuk dikembalikan ke Indonesia.

Ketika dia menyebut saya keturunan Sultan Cirebon, saya nyeletuk, “keturunan Sultan Cirebon dari Hongkong ...kale!”. Meski lahir dari kalangan NU, saya tak suka merunut asal usul semacam itu karena tak terlalu penting untuk mengasah kreativitas dan karya.

Dr. Neng Dara Afifah, pernah mengajak kami – keluarga besar Ciputat School – ke pondok pesantren An-Nizomiyah, warisan keluarganya di Pandeglang. Ketika saya tanyakan, kenapa tidak menginisiasi khaul keluarga besarnya untuk membesarkan pesantren An-Nizomiya, Neng Dara hanya tersenyum.

“Belum waktunya Mas Simon,” katanya. Padahal Neng Dara termasuk wanita pertama yang memimpin pesantren besar di Indonesia. Dengan memanfaatkan track recordnya sebagai mantan komisioner Komnas Perempuan dan kedekatannya dengan Gus Dur, Neng Dara niscaya akan menjadi tokoh besar kelak bila memanfaatkan tradisi khaul keluarganya.

An-Nizomiyah adalah pondok pesantren yang punya potensi berkembang sangat besar. Letaknya di pinggir jalan raya Jakarta-Pandeglang, tanahnya luas, dan para pengelolanya berpendidikan plus-plus. Neng Dara, misalnya, waktu kecil mesantren di Ponpes Cipasung, Tasikmalaya. Kemudian mendapat gelar doktor sosiologi dari Universitas Indonesia. Adiknya, Nong Darol Mahmadah, alumnus UIN Jakarta, terkenal sebagai aktivis kesetaraan gender yang sangat disegani. Adik bungsunya, politisi Golkar yang intelek, Dr. Ace Hasan Syadzily. Seandainya keluarga besar trah tersebut menginisiasi khaul nenek moyangnya, niscaya Pesantren An-Nizomiyah akan menjadi besar seperti Ponpes Lirboyo, Kediri.

Di kalangan NU, merunut asal usul keturunan adalah sesuatu yang sangat penting. Saya pernah mampir ke pondok pesantrennya Kyai Sahal Mahfud, Maslakul Huda, di Kajen, Pati, Jateng awal tahun 1990-an. Begitu duduk di ruang tamu rumah Kyai Sahal Mahfudz, hal pertama yang saya perhatikan adalah poster besar yang menggambarkan silsilah Kyai Sahal. Setelah saya perhatikan, di ujung diagram silsilah itu adalah Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Berarti, Kyai Sahal – pinjam istilah Habib Riziq – masih “berdarah” Rasulullah.

Sejak itu saya jadi “ngeh” ketika Gus Dur di tahun 1980-an waktu diwawancarai Majalah Matra menyatakan, bahwa beliau masih bersaudara dengan Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini. Pengakuan Gus Dur tersebut sangat menyentak publik saat itu. Maklum pada tahun 1980-an, dunia sedang dilanda “demam Khomeini”. Pengakuan Gus Dur tadi, bagi orang yang mengerti silsilah keturunan beliau, bisa dimengerti. Ini karena Gus Dur seperti halnya Kyai Sahal, masih “sealiran darah” dengan Rasulullah, sebagaimana halnya Imam Khomeini.

Saya tidak tahu, apakah Ulil Abshar Abdalla masih punya garis keturunan Rasulullah karena Ulil juga termasuk orang “darah biru” dalam jaringan kyai Jawa Timur. Jika Ulil ternyata diagram nasabnya sampai ke Fathimah, berarti masih “bersaudara” dengan Habib Riziq. Jika masih bersaudara, keduanya punya peluang berkumpul dan bersilaturahmi demi persaudaraan ahlul-bait; lalu sama-sama berjuang untuk Indonesia yang lebih toleran dan damai.

Mempunyai garis keturunan Rasulullah adalah suatu kehormatan luar biasa di kalangan warga NU. Teman saya, Abdul Rahman, aktivis IAIN Ciputat, pernah bercerita tentang “kedigdayaan” Habib Riziq. Ketika Abdul Rahman berbicara tentang Nabi Muhammad dan peranannya di akhir zaman, Habib Riziq, dengan bangga langsung menunjukkan lengannya.

“Siletlah tangan saya, darah yang keluar dari tangan ini berasal dari Rasulullah.” Karena itu jangan heran jika Habib Riziq, pimpinan FPI (Front Pembela Islam), sangat dihormati oleh orang-orang Betawi yang punya tradisi sangat menghormati habaib atau keturunan Rasulullah. Kalangan dzuriyat (keturunan Rasulullah) itu pun sangat menyadari posisinya dan mereka mampu menggalang kekuatan umat untuk menggerakkan massa demi membela Islam. FPI adalah salah satu organisasi Islam yang ‘energinya’ berasal dari para habaib tersebut, sehingga dihormati orang-orang Betawi.

Para habaib -- bentuk jama’ dari habib -- sebetulnya terdiri atas dua golongan. Pertama, habib galur murni. Kedua, habib galur campuran. Habib galur murni adalah orang yang nenek moyangnya, baik dari bapak maupun ibu masih asli keturunan Rasulullah. Contohnya Prof. Qurais Shihab. Golongan galur murni ini tak hanya dihormati kalangan Nahdhiyin, tapi juga kalangan habaib galur campuran. Habib galur murni ini biasanya sangat ketat mempertahankan kehabibannya. Pak Qurais, misalnya, konon hanya mau merestui pernikahan Najwah Shihab, presenter cantik MetroTV, jika calon menantuanya masih keturunan habib galur murni.

Sedangkan galur campuran adalah habib yang garis keturunan Rasulullah-nya hanya dari satu sisi saja. Entah ayahnya atau ibunya. Dulu banyak diaspora orang Yaman yang keturunan Rasulullah berdagang ke Indonesia. Mereka kawin mawin dengan penduduk setempat. Nah, keturunan mereka itulah yang kemudian disebut habib di Betawi. Sosoknya sudah seperti orang Indonesia asli. Gus Dur dan Kyai Sahal, misalnya, wajah dan postur Arabnya sudah tak terlihat karena percampuran genetisnya sudah terlalu dalam dengan gen Melayu.

Hal ini berbeda dengan habaib galur murni. Wajah dan postur mereka masih kelihatan Arabnya. Ini karena mereka menjaga “aliran darah geneologi”nya agar tidak tercampur darah kaum azam; darah orang biasa.

Di Indonesia, jika kita tidak tahu silsilahnya, sulit untuk mengetahui siapa yang habib; siapa yang orang biasa. Tapi di Iran, hal itu segera bisa diketahui. Ulama keturunan habib biasanya memakai “udeng-udeng” hitam di kepalanya. Contohnya Imam Khomeini. Sedangkan ulama yang bukan habib memakai udeng-udeng putih. Tentu saja yang pakai udeng-udeng hitam lebih dihormati karena statusnya masih dzuriyah (keturunan Rasul).

Konon, keturunan Rasul ini, biasanya punya keistimewaan dalam banyak hal seperti kecerdasan logika, kecerdasan linguistik, kecerdasan spasial, kecerdasan komunikasi, dan kecerdasan-kecerdasan lainnya. Lihat saja Prof. Dr. Quraih Shihab. Kecerdasan linguistik dan komunikasinya luar biasa. Ihsan Ali Fauzi, teman saya di majalah Ulumul Qur’an, yang pernah mengedit transkrip ceramah-ceramah Pak Qurasih menjadi sebuah buku, mengaku tidak terlalu banyak mengoreksi kalimat dari ceramah-ceramah Pak Quraish. Ini artinya, Pak Quraish jika berbicara sudah runtut dan tertib, baik secara lingual maupun gramatikal.

Kewibawan Pak Quraish juga mampu menundukkan orang-orang “Islam garis keras” seperti almarhum Imam Samudera, teroris Bom Bali. Menurut KH Syafi’i Mufid, konsultan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), almarhum Imam Samudra selalu menolak setiap ulama yang mau menasihatnya, kecuali Pak Quraish. Ulama lain disebutnya thagut.

Belakangan di internet tersebar berita bahwa Ratu Inggris Juliana masih berdarah Rasulullah jika nenek moyangnya dirunut sejak zaman Kerajaan Andalusia di Spanyol. Dengan demikian, Ratu Juliana berhak memakai gelas syarifah. Begitu juga, Steve Jobs, pendiri Apple Corp. masih beradarah habib yang berasal dari nenek moyangnya di Suriah. Sayang kedua tokoh tersebut, ‘Syarifah’ Juliana dan ‘Habib’ Steve Jobs, keduanya Kristiani.

Dalam konteks inilah, saya pernah mengusulkan kepada putra Pak AR, Pak Sukriyanto, agar hari kematian Pak AR diperingati dalam bentuk khaul. Ini penting agar kebesaran Pak AR makin terasa di tengah umat seperti halnya kyai-kyai besar NU.

“Muhammadiyah tidak punya tradisi khaul Mas Simon. Kalau kita bikin khaul untuk memperingati kematian Pak AR, kami takut Bapak dikultuskan,” kata Pak Sukri, putra Pak AR. Jika Bapak dikultuskan, tambah Pak Sukri, takut terjerumus pada kemusyrikan.
Pak AR adalah tokoh yang ogah dibesar-besarkan namanya. Suatu ketika sejumlah aktivis Islam mendatangai Pak AR. Mereka minta izin membuat buku 70 Tahun Pak AR. Buku ini sebagai kado untuk memperingati usia 70 tahun beliau. Hal seperti itu sudah lumrah. Hampir semua tokoh besar di Indonesia, bahkan dunia, membuat atau dibuatkan buku peringatan atau kenang-kenangan “70 Tahun” tersebut. Ternyata, ide tersebut ditolak Pak AR.

“Lo, saya ini bukan siapa-siapa. Saya ndak pantas dibuatkan buku 70 Tahun Pak AR,” ujarnya. “Kalau ada buku seperti itu, dan orang-orang yang komen di dalamnya memuji saya, njur saya ini opo?”

Para aktivis Muhammadiyah tersebut akhirnya nyerah. Tidak bisa membujuk Pak AR agar mau dibuatkan buku kenag-kenangan 70 Tahun tersebut.

Hal yang sama pernah dilakukan Pak AR ketika sebuah penerbit ingin membukukan ceramah-ceramah Pak AR yang disiarkan RRI Nusantara II Yogyakarta. Awalnya Pak AR menerima alasan penerbit bahwa ceramah-ceramah beliau di RRI sangat bagus dan baik sekali bila dibukukan. Tapi kemudian Pak AR menolaknya. Gara-garanya, lawakan Basiyo di RRI juga tidak dibukukan.

Saat itu, Pak AR mendatangan RRI Yogya. Beliau tanya kepada pimpinan RRI, apakah lawakan Basiyo yang rutin muncul di RRI itu sudah dibukukan. Ternyata jawabannya, belum.

“Lho kalau guyonan Basiyo yang terkenal saja tidak dibukukan, apalagi ceramah saya,” kata Pak AR.

“Basiyo itu pemirsanya jauh lebih banyak dari ceramah saya,” lanjut Pak AR. Akhirnya Pak AR pun menolak rencana penerbit itu.

Itulah kesederhanaan Pak AR. Beliau tidak mau dibesar-besarkan orang. Takut dikultuskan. Kalau sudah dikultuskan, dampak lanjutannya dilegendakan. Terus disucikan. Kemudian makamnya dikeramatkan. Kalau sudah seperti itu, kuburannya bisa disembah-sembah. Hal-hil seperti itu terlarang di Muhammadiyah.

Penasaran siapa Pak AR secara genealogis, saya pun memburu info lagi kepada Pak Sukri.

“Pak Sukri, apakah nenek moyang Pak AR masih punya garis keturunan nabi?,” tanya saya untuk meyakinkan bahwa pimpinan Muhammadiyah tersebut masih punya aliran darah Nabi Muhammad.

“Ya Mas Simon, Pak AR masih keturunan Nabi.”

Saya terkejut, senang. Bayangan saya, jika Pak AR masih keturunan Nabi Muhammad, kalangan Nahdhiyin dan orang Betawi akan sangat menghormatinya.

“Benar keturunan nabi?,” sergah saya kepada Pak Sukri.
Benar Mas Simon. Pak AR keturunan nabi. Tapi Nabi Adam,” jawab Pak Sukriyanto sambil terkekeh. Ah, anak dan bapak ini memang sama-sama suka guyon. Saya terkecoh. Tapi seneng denger guyonannya.

****

Lanjut! Anda jangan mengira di Muhammadiyah tidak ada habib. Di Muhammadiyah ada ‘habib sejati yang sangat dihormati. Habib asli Muhammadiyah ini ilmunya luas sekali dan sering jadi pembicara di seminar-seminar tingkat nasional dan internasional.

Kalau mendengar ceramah ‘habib’ Muhammadiyah ini, pikiran saya langsung terbang berputar-putar di langit, kemudian turun ke bumi; terus terbang lagi ke surga; turun lagi ke dunia fana. Hari ini ‘habib’ kirim SMS sedang seminar energi alnternatif di Manila. Besoknya, berceramah soal hak asasi manusia di London. Sorenya, berpidato tentang masa depan agama di New York. Habib asli Muhammadiyah ini perjalanan intelektualnya seperti burung elang. Menembus langit, mencengkeram bumi.

Habib memang sangat hebat. Saya mengaguminya sejak “pandangan pertama” di Gelanggang Mahasiswa UGM tahun 1980-an. Saya benar-benar tersihir oleh pidato ‘habib’ yang sarat filsafat dan ayat ini. Ia mampu “melangitkan” setiap persoalan umat; lalu membawanya ke pemikiran filsafat, pengalaman spiritual, hingga akhirnya menuju Quran dan Tuhan. Setelah itu, turun lagi ke bumi; ke pinggiran Sleman; atau perkampungan kumuh di Bantar Gebang, Bekasi.
Pak AR pun hormat kepada ‘habib’ asli Muhammadiyah ini. Habib bercerita bahwa Pak AR pernah berkunjung ke rumahnya di Jakarta mengendarai mobil minibus Colt (yang sangat populer untuk angkot jurusan Bogor-Sukabumi). Habib, yang saat itu menjadi pimpinan sebuah LSM internasional di Jakarta, merasa gumun: “Pak AR itu orang besar. Pejabat negara, anggota DPA. Mau-maunya bersusah payah mampir ke rumah saya.”

Yang bikin gumun ‘habib’ -- mobil yang dikedarai Pak AR sederhana sekali, hanya minibus Colt seken (bekas). Padahal saat itu, jabatan Pak AR adalah anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Sekarang namanya Wantimpres. Pejabat negara yang sangat dihormati karena tugasnya memberi saran dan pertimbangan kepada presiden.

Menjadi anggota DPA, adalah satu-satunya tawaran jabatan dari Pak Harto yang diterima Pak AR karena didorong Muhammadiyah agar beliau mau menerimanya. Alasannya, anggota DPA kerjanya “menasehati presiden” dan rapat hanya sekali dua kali sebulan sehingga tidak mengganggu aktivitas dakwah Pak AR. Dengan menjadi “penasehat presiden” mudah-mudahan ada manfaatnya untuk umat.

Kok mobilnya sesederhana itu? Bukankah mobil inventaris anggota DPA sama dengan aselon I di PNS? Zaman itu, biasanya kalau tidak sedan Volovo, ya Camry, dengan CC 2500. Tapi Pak AR pakai mobil Colt seken. Ternyata, Pak AR nggak mau pakai sedan mahal itu. Inventaris tersebut diberikan ke PP Muhammaiyah agar dipakai untuk aktivitas perserikatan.

“Karena saya diangkat jadi anggota DPA atas desakan Muhammadiyah, maka semua fasilitas, termasuk mobil saya serahkan ke Muhammadiyah,” kata Pak AR. Tak hanya itu, hampir seluruh gaji dan tunjangan pun diberikan ke Muhammadiyah. Pak AR hanya mengambil seperlunya, terutama untuk transport Jakarta-Yogya.

“Saya ini orang biasa, kenapa Pak AR mau menyambangi saya,” ujar ‘habib’ dengan mata sayu kepada Pak AR.

“Mas Habib, saya ingin silaturahmi ke kader muda Muhammadiyah yang akan membesarkan perserikatan,” kata Pak AR.

“Tidak hanya orang muda yang perlu mendatangi orang tua, orang tua juga perlu mendatangi orang muda,” kata Pak AR. Habib pun tak bisa bicara lagi. Tenggorokannya tersekat. Haru.

“Itulah kebesaran jiwa Pak AR,” cerita ‘habib’.

“Saya sangat mengagumi kesederhanaan sifat dan akhlak beliau,” lanjut alumnus Ponpes Gontor dan Filsafat UGM itu.

Lalu, siapa ‘habib’ asli Muhammadiyah yang berwajah Jawa dan santun itu? Beliau adalah Habib Chirzin!

Saya memanggilnya Mas Habib kepada mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah itu. Beliau adalah Habib bukan sebab keturunan Nabi Muhammad; tapi karena orang tuanya memberi nama si jabang bayi, Habib. Ayahnya bernama Chirzin, kyai Muhammadiyah dari Kota Gede, Yogya.

Selain Habib Chirzin, saya tak pernah mendengar ada ‘habib’ lain di Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah gelar habib karena faktor nasab atau silsilah memang tidak terlalu penting. Yang penting bagi Muhammadiyah adalah karya, sekali lagi karya -- bukan silsilah.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...