Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Sabtu, 07 Okt 2017 - 07:56:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Ketidakadilan Itu adalah “Active Ingredient”, Bahaya Kalau Ditumpuk

28IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Salah satu kesalahan fatal penguasa di mana pun juga di dunia ini adalah menumpuk ketidakadilan (injuctice). Mendiang Ferdinand Marcos, presiden Filipina, digulingkan oleh kekuatan rakyat (people’s power) pada awal 1986 setelah menumpuk ketidakadilan dan kesewenangan selama belasan tahun.

Indonesia sendiri sudah berkali-kali mengalami guncangan sosial-politik yang berpangkal dari penumpukan ketidakadilan di segala bidang, terutama yang bekaitan dengan ekonomi, bisnis, dan penegakan hukum. Peristiwa yang disebut Reformasi 1998 merupakan puncak dari penumpukan ‘injustice’ selama bertahun-tahun. Pak Harto terpaksa mengalami “disgraceful exit” (pergi secara tidak terhormat) setelah ketidakadilan menumpuk.

Begitulah hukum alam. Natural law. Ketidakadilan akan terkoreksi dengan sendirinya.

PKI berani melakukan pengkhiatan pada 1965 karena suasana politik waktu itu sangat memihak kepada mereka. Penguasa pada era itu memberikan keistimewaan kepada PKI. Bahkan boleh dikatakan, penguasa memberikan keleluasaan kepada PKI. Sebaliknya, kekuataan sosial-politik yang berbasis keagamaan, cenderung tidak disukai oleh penguasa, waktu itu.

Penguasa menumpuk ketidakadilan terhadap umat Islam. Salah satu ketidakadilan yang menyolok pada masa itu adalah penjeblosan ulama besar, termasuk Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ke dalam penjara.

PKI memahami dan memanfaatkan keberpihakan penguasa kepada mereka. PKI kemudian merasa kuat dan nekad melancarkan pemberontakan dengan membunuh enam jenderal. PKI melakukan pembunuhan terhadap ulama dan ratusan bahkan ribuan santri.

Akhirnya, penguasa dikepung oleh ketidakadilan yang mereka tumpuk sendiri. Bung Karno menghadapi situasi yang menyudutkan beliau. Ketidakadilan politik yang menumpuk waktu itu, mengantarkan presiden pertama Indonesia ini ke “exit door” (pintu keluar) yang tidak cukup terhormat. Tidak hanya itu, diantara kenangan historis tentang beliau, banyak yang tidak bernilai positif.

Hari ini, detik ini, penguasa negeri juga telah dan terus menumpuk ketidakadilan. Tidak tersebutkan lagi daftarnya. Di semua bidang, termasuk ekonomi, politik dan terutama ketidakadilan dalam penegakan hukum. Tanpa mengurangi rasa hormat, kita lihat bagaimana Polri tidak adil dalam menegakkan hukum. Ketidakadilan berlangsung secara terbuka, “naked injustice”.

Polisi mengatakan mereka akan mempercepat penyelesaian kasus Jonru Ginting dengan dakwaan ujaran kebencian. Cepat sekali. Tetapi, kasus-kasus lain yang juga ujaran kebencian dan penistaan agama yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berseberangan dengan penguasa, cenderung tidak diproses. Atau, kalau pun dilanjutkan, ada kesan pura-pura diproses.

Begitu banyak penista agama di dunia maya bisa melanjutkan penistaan tanpa ada tindakan dari penegak hukum.

Penguasa negeri sebaiknya membaca kembali sejarah tentang kehancuran perilaku yang mengabaikan keadilan. Yang menginjak-injak keadilan dengan kesewenangan. Ferdinand Marcos, Soeharto, Soekarno, dan para pembesar lainnya di dunia ini terpaksa mengakhiri jabata mereka melalui cara yang tak terhormat. Boleh dikatakan melalui “mekanisme jalanan”.

Mengapa bisa begitu? Orang lupa bahwa ketidakadilan itu bukan benda mati. Ia bukan sampah yang bisa Anda tumpuk di sudut halaman atau di ujung saluran dalam keadaan diam. Ketidakadilan itu bisa membentuk gumpalan kekuatan dahsyat yang akan meruntuhkan kekuasaan. Ia hanya membeku untuk sementara, tetapi sel-selnya terus hidup.

Ketidakadilan adalah “active ingredient” --ramuan aktif. Bukan katalistik sifatnya. Ramuan aktif itu bukan kendaraan yang bersifat pasif, melainkan penumpang yang selalu aktif.

Dalam bahasa farmasi, semakin banyak ketidakadilan yang Anda tumpuk, akan semakin banyak “active ingredient” yang Anda simpan. Ramuan-ramuan aktif yang tertumpuk ini, kata teori kimia, kemungkinan akan berinteraksi satu sama lain sampai menjadi “rebellious force”, yaitu “kekuatan perlawanan”.

Kalau “active ingredients” yang berubah bentuk menjadi “rebellious force” itu menumpuk di dalam tubuh Anda, dia akan menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal. Banyak pasien rumah sakit yang menghembuskan nafas terakhir gara-gara penumpukan ramuan aktif itu.

Sekali lagi, ketidakadilan yang Anda tumpuk karena cara Anda menjalankan kekuasaan, sangat berkemungkinan untuk menimbulkan musibah besar dengan duka yang panjang.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...