JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai opsi dua soal metode kinerja Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang ditawarkan Polri lebih tepat untuk diterapkan.
Opsi dua yang ditawarkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yakni Densus Tipikor tidak perlu satu atap dengan Kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, seperti Detasemen Khusus 88 Anti-teror, dalam opsi dua ini, kinerja Densus akan didukung Satgas Khusus Pemberantasan Korupsi di Kejaksaan.
"Saya yakin sih opsi kedua yang lebih visible. Jadi meningkatkan staf di Densus Tipikor di Kejaksaannya ada ruang khusus satgasus," kata Laode di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017).
Laode berharap, sinergitas antara Densus Tipikor dengan Satgas Khusus di Kejaksaan dapat mempercepat penanganan perkara korupsi.
"Itu diharapkan mempercepat penanganan korupsi ya seperti itu, hukum acaranya pun enggak akan berubah karena terkait KUHAP," tuturnya.
Meski mendukung Densus Tipikor, Laode menyebut KPK akan tetap bekerja menjalankan tugas memberantas korupsi. KPK, lanjut Laode juga tak mempermasalahkan apabila Densus Tipikor juga diberikan wewenang penyadapan asalkan merujuk pada UU.
"Oh iya tapi maksudnya Densus ini akan beroperasi dengan UU yang seperti sekarang. Jadi itu kebijakan Polri ingin besar disisi anti korupsinya Kejaksaan akan memperkuat itu juga," pumgkasnya.
Sebelumnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian menawarkan adanya dua metode kerja Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi. Dua metode ini diharapkan dapat membuat kerja pemberantasan korupsi efektif dan efisien.
"Pertama, dibentuk satu atap dengan Jaksa Penuntut Umum sehingga kepemimpinannya bukan dari Polri namun kami usulkan satu perwira tinggi bintang dua Kepolisian, satu dari Kejaksaan, dan satu dari Badan Pemeriksa Keuangan," kata Tito dalam Rapat Kerja Gabungan di Komisi III DPR, Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017).
Menurut Tito metode pertama ini memiliki kekuatan di pimpinan bukan subordinat namun kolektif kolegial. Tito meyakini dengan metode ini pemberantasan korupsi akan sulit diintervensi.
Sementara metode kedua menurut Tito, tidak perlu satu atap antara Polri dengan Kejaksaan namun seperti Detasemen Khusus 88 Anti-teror dimana ada Satgas Penuntutan dari Kejaksaaan untuk menangani kasusnya. (aim)