JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Fraksi Hanura DPRD DKI meminta pembahasan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta dihentikan. Sebab, regulasi tersebut dinilai sangat merugikan pedagang kecil di kampung-kampung.
Ketua Fraksi Hanura DPRD DKI, Mohamad Ongen Sangajimengatakan, regulasi tersebut harus tegas terhadap zonasi jarak antara toko swalayan (ritel) dengan pasar rakyat (tradisonal).
"Kami menolak (Perda Perpasaran). Kasihan, warung-warung di kampung. Mereka kalah dengan ritel modern. Jadi, jumlah swalayan di kampung-kampung harus dibatasi," kata Ongen di Jakarta, Minggu (22/10/2017).
Ketua DPD Partai Hanura DKI itu menilai, Revisi Perda Perpasaran harus secara optimal melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), jangan hanya menguntungkan pelaku usaha menengah besar.
"Nah, ini kok malah menguntungkan pelaku usaha besar. Posisi kami (Hanura) ingin pedagang kecil dilindungi dan lebih dimajukan," tegas Ongen.
Lebih jauh, dia menjelaskan, aturan jarak toko modern dan pasar tradisional diatur dalam pasal 10 Perda nomor 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta. Pasal ini mengatur jarak toko modern dan pasar tradisional berdasarkan luas bangunan.
"Saya ingin pembangunan ritel di kampung-kampung dihentikan. Sekarang, satu RW saja sudah ada ratusan Alfamidi, Alfamart, dan Indomart. Zonasi ini harus diatur," bebernya.
Latar belakang aturan tersebut direvisi untuk mengatur usaha ritel modern seperti minimarket atau supermarket yang tengah berkembang pesat di DKI. Sehingga, perkembangan ritel modern tak mematikan usaha kecil di pasar tradisional
"Tapi, malah usaha kecil dimatikan. Makanya, kami menolak. Minimarket mematikan usaha mikro kecil dan menengah. Kami, sudah koordinasi juga dengan beberapa fraksi untuk menolak," tandasnya (aim)