Pada 1 September 1945, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Wakil Gubernur Jenderal di India Belanda bersama Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jenderal wilayah Timur, menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk mendesak Inggris melaksanakan persetujuan Civil Affairs Agreement (CAA), serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya dan informasi yang diberikan oleh van Mook mengenai situasi di India Belanda, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Catatan Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer besar.
Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu staf kepercayaannya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur.
Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, Mallaby rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan pasukan tempur, dan bukan sembarangan pasukan tempur, melainkan Brigade 49, yang dijuluki sebagai “The Fighting Cock” (Ayam tarung).
Misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya, yaitu:
Headquarters, S.E. Asia Command
2 Sept. 1945.
From: Supreme Commander S.E.Asia
_To: G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia_
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration,when it is in a position to maintain services.”
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives (PRIBUMI) have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“…mempertahankan status quoyang ada sebelum invasi Jepang.”
Di Surabaya dan sekitarnya pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dipelopori antara lain oleh K.R.M.H. Yonosewoyo, Sungkono, dr. Wiliater Hutagalung, Surachman, Abdul Wahab, R. Kadim Prawirodirjo, drg. Mustopo, dan lain-lain. Selain BKR, juga didirikan berbagai laskar dan pasukan pemuda, seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), dengan tokoh-tokohya seperti Isman dan Soebiantoro (Mas Biek).
Sebagaimana telah saya paparkan di tulisan terdahulu, bahwa setelah Jepang menyatakan menyerah kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945, mulai bulan September terjadi perebutan senjata dari tentara Jepang, yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia.
Perebutan senjata ini banyak dilakukan melalui pertempuran yang menelan korban jiwa cukup besar di kedua belah pihak.
Dalam waktu kurang dari dua bulan di Surabaya dan sekitarnya telah terbentuk lebih dari 60 satuan BKR dan Laskar, di mana jumlah rakyat bersenjata diperkirakan mencapai 30.000 orang. Hal tersebut dimungkinan, karena sebagian terbesar adalah mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Keibodan, Seinendan, Hizbullah, yang memperoleh pendidikan dan pelatihan militer atau semi militer dari Jepang, yang semula dirancang untuk membantu Jepang dalam pertahanan dan keamanan di India Belanda. Jenis persenjataan yang dimiliki dari mulai senjata ringan, senjata setengah berat sampai senjata berat, tank dan meriam kaliber besar, bahkan pesawat terbang.
Melihat bahwa Jepang kelihatan sangat mengalah kepada Belanda dan bahkan memberikan berbagai fasilitas serta pengawalan bagi pimpinan Belanda yang baru dilepaskan dari interniran, membuat kemarahan rakyat terhadap tentara Jepang makin berkobar. Kalangan pejuang Republik di Surabaya semakin kuat berprasangka, bahwa Jepang telah bekerjasama dengan Sekutu untuk memberikan peluang kepada Belanda kembali menjajah Indonesia.
Hal ini terlihat dalam “insiden bendera” pada 19 September 1945. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp interniran Jepang dan kemudian tinggal di Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit), pada 19 September 1945 menaikkan bendera Belanda, merah- putih- biru. Para pemuda yang marah melihat hal itu, segera naik ke atas hotel, kemudian merobek warna biru dan mengibarkan merah-putihnya kembali di atas hotel tersebut.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #