Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, Presiden Sukarno beserta rombongan pulang ke Jakarta.
Pimpinan sipil dan militer Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Mallaby juga berada di dalam rombongan militer Inggris.
Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatioyang masih ada tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, pos pertahanan Inggris terakhir yang juga masih terjadi tembak-meembak.
Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut pada petang hari, nampak bahwa gedung tersebut tengah dikepung oleh ribuan pemuda Indonesia dan menghujani Gedung Internatio dengan tembakan.
Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw mewakili tentara Inggris, sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan yang fasih berbahasa Inggris. Mereka ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, mengenai hasil kesepakatan antara Inggris dengan Indonesia.
Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung. Tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar satu jam.
Setelah tembak-menembak berhasil dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Pada tanggal 31 Oktober 1945, Panglima AFNEI Letnan Jenderal Philip Christison mengeluarkan pernyataan dengan nada ancaman yang sangat keras:
Warning to Indonesia!
”... On 28 th Octobera large number of armed Indonesians in Surabaya attacked without warning or provocation British forces, which had landed there peacefully for the purpose of disarming and concentrating the Japanese forces, of bringing relief to prisoners of war and internees, and of maintaining law and order in the area occupied by them.
Subsequently these Indonesians broke the truce which had been agreed in the presence of Dr. Sukarno and Mohammad Hatta, and foully murdered Brigadier Mallaby, who had to parley with them.
These direct and unprovoked attacks upon British cannot in any circumstances be permitted, and unless the Indonesians who have committed the acts surrender to my forces, I intend to bring the whole weight of my sea, land and air force and all weapons of modern war against them untill they are crushed.
If in this process, Indonesian should be killed or wounded, the sole responsibility will rest with those Indonesians who have committed the crimes I have named ...”
Inti pernyataannya adalah:
1. Orang-orang Indonesia melanggar gencatan senjata (truce),
2. Membunuh Brigjen Mallaby secara licik.
Kedua alasan ini dijadikan alasan untuk “menghukum” rakyat Surabaya dengan membom kota Surabaya secara membabibuta yang dimulai tanggal 10 November 1945..
Tewasnya Mallaby memang masih kontroversial, namun mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian-kesaksian justru datang dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris dan cocok dengan keterangan-keterangan para pelaku sejarah dan saksi mata di pihak Indonesia..
Pada pertempuran yang berlangsung di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober 1945, Inggris mencatat kehilangan 18 perwira, termasuk Brigjen AWS Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder-Symonds serta 374 serdadu yang tewas, luka-luka dan hilang. Sedangkan di pihak Indonesia diperkirakan sekitar 6.000 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.
Tentara Inggris kehilangan potensi perangnya sekitar 8% anggota tentaranya. Angka yang sangat tinggi untuk Pemenang Perang Dunia II, mengingat sebagian terbesar dari para Arek Suroboyo tidak memiliki pengalaman tempur. Banyak yang baru pertama kali menggunakan senjata.
Di sini letak kebanggaannya, bahwa para Pemuda Pribumi dari seluruh pelosok Indonesia, tepat 17 tahun setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 berhasil memaksa pemenang perang Dunia II mengibarkan bendera putih.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #