JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Wakil DPR Fahri Hamzah meminta Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikan dugaan kriminalisasi dan intervensi terhadap Partai Demokrat dalam proses Pilkada.
Menurutnya, terjadi ketidakpastian hukum di pemerintahan Jokowi saat ini.
"Saya kira Pak Jokowi memang harus turun tangan untuk menjelaskan kepada publik, karena ini terkait kinerja dia. Kenapa zaman Pak Jokowi itu ada perasaan orang merasa tidak pasti secara hukum," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/1/2018).
Fahri berharap, Presiden Jokowi memperhatikan keluhan yang diutarakan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Ini yang dikeluhkan Pak SBY. Itu menurut saya harus menjadi konsen teguran dari pak SBY. Itu Jangan dianggap sebagai teguran Partai Demokrat semata, tetapi juga teguran mantan Presiden dua periode jadi perlu juga diperhatikan," ucapnya.
Upaya dugaan intervensi dan kriminalisasi lawan politik telah menyebar kemana-mana. Fahri mengaku mendapat informasi banyak kepala daerah atau calon potensial yang dijerat kasus karena menolak permintaan partai tertentu.
"Jadi kalau seorang mantan presiden seperti Pak SBY saja ada perasaan tidak secure dengan hukum dan dia katakan itu, artinya memang ada satu kondisi yang kadang-kadang bisa kita sebut seperti anomali bahwa hukum itu kelihatan tidak pasti," tegasnya.
Contoh lainnya dari ketidakpastian hukum rezim Jokowi terlihat dari penangkapan ulama dan pemuka agama dengan berbagai tuduhan, seperti melakukan ujaran hingga dugaan makar.
"Bagaimana nasib orang-orang yang ditangkap sejak setahun yang lalu atau sejak tahun lalu? Ditangkap dan dijadikan tersangka tapi sudah bertahun-tahun saat ini enggak diapa-apain juga, termasuk ulama-ulama dan sebagainya itu," ujar Fahri.
Atas masalah ini, Fahri juga meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk lebih transparan memperbaiki citra institusi Polri di mata publik. Salah satu caranya dengan memberikan kepastian hukum kepada mereka yang dianggap melakukan makar saat aksi akbar ormas keagamaan.
"Ya perbaikilah secara pelan-pelan, anasir-anasir yang membuat orang merasa tidak pasti itu diselesaikan," imbuhnya.
Sebelumnya, Partai Demokrat menyampaikan sejumlah perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang terhadap partai dan kader dalam kaitan persiapan Pilkada. Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, pihaknya mencatat tiga bentuk perlakuan tidak adil yang diduga dilakukan penguasa.
Paling anyar terjadi saat Bareskrim memeriksa bakal Cagub Kalimantan Timur, Syaharie Jaang yang diusung Demokrat.
Hinca mengatakan, kasus itu bermula ketika Syaharie diminta salah satu partai untuk menjadikan Kapolda Kaltim, Inspektur Jenderal Safaruddin sebagai calon wakil gubernur Kaltim.
“Padahal sudah ada (wakilnya) Pak Rizal (Effendi)," kata Hinca di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Rabu 3 Januari 2017. Secara etika politik, ujar Hinca, tidak baik jika sudah ada calon untuk posisi itu namun menggantinya dengan Safaruddin.
Namun, Jaang diancam agar mengganti Rizal dengan Safaruddin.
“Jika tidak (dituruti) akan ada kasus hukum yang akan diangkat,” terangnya.
Permintaan itu disampaikan Safaruddin pada 25 Desember 2017 melalui telepon. Safaruddin menanyakan apakah mungkin berpasangan lagi untuk Pilkada 2018.
"Dijawab tidak mungkin, karena sudah ada pasangan," kata Hinca.
Keesokan harinya, pada 26 Desember, kata Hinca, sudah ada laporan tentang Syaharie ke Bareskrim. Bareskrim mengirim surat panggilan dan menjadwalkan pemeriksaan untuk Jaang pada 29 Desember 2017.
"Tentu mengagetkan, kami minta untuk ditunda." Surat panggilan pemeriksaan kedua keluar untuk pemeriksaan pada 2 Januari 2017.(yn)