Gerakan perlawanan terhadap rezim Orde Baru tahun 1997 itu bernama Mega-Bintang. Gerakan ini mengambil nama Megawati yang saat itu dipredikat sebagai victim kesombongan rezim Orba dan Bintang berasal dari gambar/lambang partai PPP saat itu (saat ini lambang Ka’bah). Tokoh pencetus gerakan ini adalah Mudrik Sangidoe, kader PPP dari Jawa Tengah pada saat itu. Tokoh inilah yang melakukan perlawanan hingga berkembang jadi gerakan perlawanan nasional, dan akhirnya bertemu dalam satu gerakan perlawanan bersama yang diberi nama Mega-Bintang. Gerakan moral dan perlawanan politik PPP inilah cikal bakal gerakan masif Reformasi 1998.
Gerakan Mega-Bintang yang dulu pernah ada, kini sudah sirna. Sudah out of date dan tak mungkin diberlakukan untuk Pilgub Sumut. Jauh panggang dari api. Spirit dan moral perlawananya tidak ada. Yang terjadi justru sebaliknya. Perlawanannya justru bersifat internal partai, karena pimpinan partai di Jakarta tidak paham ruh dan jiwa basis konstituennya di Sumut. Karena itu pengurus wilayah dan cabang partai PPP melawan.
Tulisan ini dibuat untuk mengeksepsi tulisan Bersihar Lubis di Kolom Harian Medan Bisnis 11 Januari 2018. Bersihar Lubis lalai dengan spirit dan karakter aksi Mega-Bintang 1997 itu. Karena dia ada di luar PPP. Suasana kebatinan dan ruh-nya tidak dapat di copy vaste dengan suasana Pilgub Sumut. Jauh sekali bedanya. Perbedaannya seperti antara siang dan malam laksana matahari dan rembulan. Perbedaannya hanya dirasakan orang-orang yang mau berfikir.
Penolakan DPW PPP Sumut terkait pengusungan Djarot dan Sihar Sitorus dalam Pilgub Sumut, justru ingin memastikan pilihan dari PPP Pusat itu tak sesuai aspirasi politik konstituen partai di akar rumput. Keinginan parpol di tingkat pusat paradoks dengan basis konstituen. Tajamnya perbedaan adalah pada sosok calon wagub, Sihar Sitorus. Soal PDIP atau Djarot, tidak begitu jadi masalah, meski diyakini tak akan menang. Sosok Djarot bukan putra daerah, ia tak tahu langgam, tak tahu canda tawa, dan tak punya koneksi sosiologis dengan Sumut. Mustahil ia bisa menang. Namun hal terakhir ini masih bisa diterima dan dimaklumi saja. Akan tetapi, kekalahan pada pilkada ini jangan sampai membuat kondisi PPP di Sumut menjadi hancur berkeping. Kesalahan Pilgub DKI janganlah merusak citra partai
berkepanjangan. Sementara Pileg/Pilpres 2019 hanya tinggal di ujung bibir. Kata anak Medan: sakitnya gak seberapa, tapi malunya ini yang susah mamak!
Konstalasi politik pilkada jaman now nggak nyambung dengan sejarah Mega-Bintang dulu. Kalau dulu, musuh ialah “arogansi rezim orde baru”. Hubungan pusat partai dengan wilayah/cabang partai sangat kuat dan menyatu. Kini sebaliknya. Romantisme Mega-Bintang itu sudah berlalu kawan. Andai ingin berharap terulang lagi, seperti pungguk merindukan bulan, Apara!(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #