JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Banyaknya partai politik (parpol) yang mengusung perwira tinggi (Pati) di kalangan TNI dan Polri untuk maju di Pilkada Serentak 2018 dinilai sebagai bentuk kegagalan dalam pengaderan.
"Tentunya ada faktor tidak berhasil bahwa mencalonkan kandidat (TNI dan Polri) di luar kader. Ini dianggap proses pengkaderan lemah," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, Minggu (14/1/2018) lalu.
Menurutnya, parpol yang lebih memilih tokoh dari TNI dan Polri untuk dijadikan jagoannya bertarung saat Pilkada juga dianggap kurang menghargai para kader.
"Masalah utama tidak ada penghargaan pada kader. Parpol lebih memilih (obral) pada tokoh lain yang dapat membiayai aktivitas kampanye, (kader) yang ‘berdarah-darah’ tetap enggak dapat dukungan. Yang dapat dukungan ya yang lain," tuturnya.
Ray menambahkan, penunjukan parpol terhadap perwira tinggi dan pejabat ASN juga dikhawatirkan akan mengunakan pengaruhnya saat berkampanye, meski para calon dari unsur TNI dan Polri telah pensiun saat ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Ini perhatian ke depan banyak jenderal aktif (ikut pilkada) harus ada aturan lagi karena dikhawatirkan diduga akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga jadi tidak profesional," tutupnya.
Berdasarkan data KPU, tercatat ada 10 anggota TNI dan Polri yang maju untuk memperebutkan kursi gubernur, bupati, dan wali kota pada Pilkada 2018. Sementara 7 lainnya bertarung untuk memperebutkan kursi wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota.
Ketua KPU Arief Budiman melihat ada kenaikan tren bakal calon kepala daerah asal TNI dan Polri aktif yang maju di Pilkada Serentak 2018
"Jumlah TNI-Polri aktif juga mengalami kenaikan tren pada Pilkada 2018. Sebelumnya memang ada, tapi sudah tidak aktif," kata Arief dalam Diskusi Polemik MNC Trijaya FM di Rumah Makan Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/1/2018) lalu. (aim)