JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai DPR RI dalam pembahasan revisi Undang-undang MD3 sangat tertutup.
Ia menjelaskan, saat proses pembahasan UU MD publik tidak dilibatkan sehingga muncul pasal-pasal yang kontroversial.
"Kritik awal pertama kami itu proses dan penilaian kinerja. Apa yang jadi bahan kritik kita, partisiapsi publik atas pembahasan revisi UU MD4 ini tidak kelihatan," kata Lucius dalam diskusi dengan tema Benarkah DPR Ga Mau Dikritik?, Jakarta, Sabtu (17/2/2018).
Dia mengatkan pembahasan UU MD3 hanya fokus terhadap pembagian kursi pimpinan. Ia mencontohkan, DPR RI menambah satu kursi, lalu di MPR bisa menambah 3 kursi pimpinan MPR dan DPD juga mendapatkan satu kursi pimpinan.
"Hampir dua tahun dibahas tapi hanya bagi-bagi kursi," tandasnya.
Selain itu, UU MD3 yang sudah disahkan pada Senin (12/2), memiliki semangat anti demokrasi.
Sejumlah pasal dalam Undang-undang tersebut mendapat sorotan. Diantaranya pemberian otoritas ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Selanjutnya, pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR dalam penyidikan pidana yang harus mendapat persetujuan presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Selain itu, revisi itu juga mengatur tentang tatacara permintaan DPR kepada polisi untuk memanggil paksa bahkan dengan penyanderaan terhadap orang yang menolak hadir memenuhi panggilan dewan.
"Karena di satu sisi DPR menghindari betul upaya-upaya penegakan hukum yang ditujukan kepada mereka. Tetapi di sisi lain mereka menginginkan warga negara yang kritis terhadap DPR dibungkam. Penambahan kewenangan MKD karena sebetulnya MKD alat kelengkapan DPR yang mengurusi soal penegakan etika anggotanya, dia tidak mempunyai kapasitas untuk mengurusi etika warga negara lainnya," kata Lucius. (plt)