JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Al Khanif berpendapat, sebagai dasar negara, Pancasila mengandung nilai-nilai religius sekaligus norma penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Nilai religius terkadung dalam sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa", sementara penghormatan terhadap hak asasi manusia atau norma humanisme seperti terkandung dalam sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Dengan demikian, kata Khanif, negara harus menggunakan instrumen hukum dan kebijakan untuk melindungi hak-hak warga negaranya untuk beragama, khususnya kelompok minoritasdari suatu agama.
"Oleh karena itu, prinsip perlindungan terhadap hak-hak dasar penganut agama-agama khususnya minoritas dalam suatu agama resmi yang diakui di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari norma-norma yang ada di dalam kedua sila Pancasila tersebut," ujar Khanif saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi atas UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2018).
Khanif mengkategorikan Indonesia sebagai negara theistik atau negara yang berketuhanan dan bukan negara agama. Sebagai negara theistik maka negara wajib melindungi semua agama tanpa terkecuali.
Menurut Khanif, dalam negara theistik tidak boleh ada dominasi suatu agama tertentu terhadap agama lainnya dan juga tidak boleh ada monopoli suatu tafsir keagamaan dari satu kelompok agama tertentu terhadap kelompok agama lainnya.
"Indonesia adalah negara sekuler karena tidak memberikan otoritas kepada suatu agama tertentu untuk mengintervensi hukum dan kebijakan pemerintah," kata Khanif.
"Namun di lain pihak, negara juga mengakui bahwa agama adalah bagian integral dari kehidupan berbangsa dan bernegara karena berdirinya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan realitas kemajemukan agama di dalamnya," ucapnya.
Menurut akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember itu menilai pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama selama ini telah ditafsirkan oleh suatu kelompok untuk mendiskriminasi hak-hak individu atau kelompok lain.
Pasal itu menyebutkan,"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu".
Oleh sebab itu, ia meminta MK memberikan kerangka penafsiran dalam pasal tersebut terutama dalam frasa "melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia".
Selain untuk menghormati dimensi humanisme Pancasila, penafsiran MK juga diperlukan untuk membatasi penerapan konsep teokrasi yang selama ini digunakan oleh sekelompok orang untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
"Mahkamah Konstitusi (MK) harus memberikan kerangka penafsiran terhadap norma-norma yang ada di pasal-pasal tersebut agar penafsiran MK kemudian menjadi rujukan oleh warga negara Indonesia" kata Khanif. (aim)