JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menyebut, Menteri Keuangan pada 2007 telah menjual aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang tadinya senilai Rp 4,8 triliun menjadi hanya Rp 220 miliar.
"Masalah hak tagih Rp 4,8 triliun yang dipermasalahkan oleh KPK itu sudah saya serahkan kepada Menteri Keuangan, dan Menteri Keuangan lah yang menjual itu dengan harga Rp 220 miliar. Bukan saya. Semuanya sudah saya jelaskan," kata Syafruddin sebelum ditahan, di gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/12/2018).
Dalam kasusSurat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini, BDNI menjadi salah satu oblligor yang mendapatkan surat tersebut. SKL untuk BDNI diterbitkan Syafruddin.
Pada Mei 2002, Syafruddin mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk mengubah kewajiban pembayaran utang menjadi restrukturisasi dengan kewajiban penyerahan aset. Dalam hal ini, BDNI menyerahkan aset senilai Rp 4,8 triliun kepada BPPN.
Aset BDNI yang diserahkan ke BPPN pada 2004 lalu itu berupa tambak udang PT Dipasena Citra Darmaja. Kemudian Menteri Keuangan lewat PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) menjual aset tersebut pada 2007.
Syafruddin menambahkan, SKL yang diberikan kepada BDNI telah memenuhi syarat dan prosedur yang berlaku. Hal itupun sudah menjadi persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) berdasarkan Keputusan Nomor 01/K.KKSK/03/2004 tertanggal 17 Maret 2004.
Ketika itu, KKSK diketuai oleh Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dengan anggota Menteri Keuangan Boediono, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno, serta Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
"Semuanya sudah ada persetujuan dari KKSK, semuanya. Saya hanya mengikuti aturan dan saya sudah punya," katanya sambil menunjukkan hasil audit BPK.
Menurut Syafruddin, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006 atas seluruh kegiatan BPPN yang ditutup pada 2004.
Dari audit tersebut, BPK berpendapat bahwa SKL kepada BDNI laik diberikan karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian 'Master Settlement and Acquisitions Agreement'.
"Saya kira, saya punya kekuatan hukum dengan audit yang saya sampaikan ini. Ini lah pegangan saya sebagai ketua BPPN sudah menyelesaikan semua," tutup Syafruddin.
Dalam kasus ini, KPK menemukan kerugian negara baru berdasarkan audit investigatif BPK sebesar Rp 4,58 triliun. Sebelumya, lembaga antirasuah itu menyebut kerugian negara atas kasus ini senilai Rp3,7 triliun.
Dari audit investigatif BPK itu ditemukan aset yang diserahkan BDNI kepada BPPN setelah dijual PT PPA hanya terjual sekitar Rp 220 miliar. (aim)