Opini
Oleh Rezha Nata Suhandi (Peneliti Muda di Sang Gerilya Institute) pada hari Sabtu, 10 Mar 2018 - 21:33:31 WIB
Bagikan Berita ini :

Jokowi dan Ring Tinju yang Dipersiapkannya

14reza-nata-suhandi.jpg
Rezha Nata Suhandi (Sumber foto : Istimewa)

Beberapa waktu lalu tepatnya pada tanggal 3 Maret 2018, Presiden Jokowi membuat sebuah vlog atau video blogging yang direlease ke publik. Video yang bertajuk #JKWVLOG TINJU tersebut sempat menjadi viral dan banyak diperbincangkan oleh warga net. Pasalnya, apa yang dipertunjukkan Jokowi dengan sarung tinjunya bersama sang pelatih merupakan sebuah hal tidak biasa yang dilakukan oleh seorang kepala negara. Jokowi juga sebelumnya memang cukup rajin untuk membuat vlog, mengikuti trend generasi milenial.

Namun dari semua itu, ada hal menarik untuk diulas, yakni menangkap apa pesan yang coba disampaikan Jokowi melalui vlog bertinjunya. Jokowi memang dikenal sebagai pemimpin yang memiliki gaya komunikasi menyiratkan pesan atau memberikan tafsir multidimensi terhadap apa yang dibicarakan atau gestur yang ditunjukkan, khas kepemimpinan orang-orang jawa. Tinju, sebagaimana kita pahami merupakan olahraga fisik yang memerlukan ketangkasan dan selalu dihadapkan pada pertandingan satu lawan satu. Tinju juga merupakan salah satu olahraga yang menunjukkan maskulinitas seorang pria, walaupun ada juga tinju untuk perempuan, namun citra maskulin, berani, kuat dan hebat ada dalam olahraga tinju yang dominan dilakukan pria.

Jika kita mengkaji beberapa momen belakangan ini, perbincangan publik sedang diramaikan mengenai pencarian figur alternatif untuk Pemilu Presiden yang akan dihelat 2019 mendatang. Jokowi sebagai incumbent memiliki keuntungan posisi dibanding figur lainnya yang sedang diuji coba ketangguhannya, dalam hal tingkat keterpilihan di masyarakat. Atas hal tersebut juga, sebagian figur mulai memberikan sinyalemen jika lebih baik menjadi pendamping Jokowi sebagai Wakil Presiden (Wapres), dibanding harus melakukan perlawanan terhadap Jokowi.

Jika menilik lebih jauh kesiapan para kompetitor yang bermunculan di hadapan publik, sebetulnya tidak ada yang betul-betul siap secara popularitas dan elektabilitas untuk menghadapi Jokowi di Pilpres 2019. Ini merupakan PR tersendiri bagi partai-partai yang hendak memupuk figur untuk mengikuti kontestasi Pilpres 2019. Tetapi bukan berarti posisi Jokowi aman dengan elektabilitas selangit yang mustahil dijangkau oleh para kompetitor. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, dan skenario apapun bisa terjadi, karena itu berlatih tinju menjadi jawaban Jokowi untuk menyikapi hasil beberapa lembaga survei terhadap elektabilitas dirinya.

Jokowi Menjawab Hasil Survei

Sebelum Jokowi merelease video vlog dirinya sedang berlatih tinju pada tanggal 3 Maret 2018, banyak lembaga survei yang merelease hasil survei berkaitan dengan Pilpres 2019. Diantaranya ada LSI Denny JA yang melakukan rilis survei pada tanggal 2 Februari 2018, Poltracking Indonesia yang merilis survei pada 18 Februari 2018, lembaga survei Median pada 9 Februari 2018 dan beberapa lembaga survei lainnya. Dari rata-rata hasil survei yang dirilis pada rentang waktu Februari hingga Maret 2018 tersebut, nama Jokowi masih ditempatkan sebagai pemilik popularitas dan elektabilitas tertinggi dibanding dengan nama-nama kompetitor seperti Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan dan lainnya.

Walaupun nama Jokowi masih ditempatkan pada posisi teratas berdasar hasil survei, namun lembaga-lembaga survei tersebut kompak menyebutkan jika ada penurunan secara berkala terhadap elektabilitas Jokowi, bahkan elektabilitasnya bisa dikatakan tidak aman hingga 2019 menjelang, karena berada di bawah 50%. Untuk hasil survei LSI Denny JA, elektabilitas Jokowi berada di angka 48% sementara Lembaga Median menyebut angka yang lebih rendah lagi, yakni 35% per Bulan Februari 2018. Ini merupakan warning atau peringatan bagi Jokowi untuk menghadapi Pilpres 2019.

Berbeda dengan Jokowi, hasil survei kompetitor mengalami kenaikan walaupun tidak signifikan. Nama Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo mengisi nama-nama yang memiliki trend kenaikan positif terhadap hasil survei. Jika melihat nama-nama yang tertera, belum ada kejutan berarti sebetulnya, karena memang sudah sejak Pilkada DKI Jakarta yang menjadi sorotan secara nasional berakhir, nama-nama tersebut hilir mudik mencari panggung pemberitaan. Masyarakat juga menyukai figur-figur tersebut sebagai alternatif pilihan pada Pilpres nanti, pertimbangannya tentu beragam, namun alasan ketegasan dianggap sebagai faktor besar yang membedakan figur alternatif dengan Jokowi.

Diganjar hasil survei yang tampaknya diluar harapan, sedikit banyak memberikan gambaran betapa kinerja pemerintahan harus terus ditingkatkan. Terutama pada sektor-sektor strategis seperti sektor perekonomian yang muaranya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Menanggapi hasil berbagai lembaga survei, Jokowi menjawab dengan melakukan latihan tinju melalui vlognya, ada pesan yang hendak disampaikan bahwa dirinya siap untuk bertarung di Pilpres 2019 bagaimanapun cerita perjalanannya, Jokowi hendak masuk ke dalam ring yang telah dipersiapkannya secara matang.

Menakar Peluang Menuju Menang

Pada sisi lainnya, nama-nama yang hendak dipinang Jokowi untuk menjadi pendampingnya sebagai RI 2 terus bermunculan. Setelah santer dikabarkan bahwa Muhaimin Iskandar yang juga merupakan Ketua Umum PKB secara serius dilirik Jokowi, belakangan nama Airlangga Hartarto yang menjabat sebagai Menteri Perindustrian RI dan Ketua Umum Partai Golkar juga sering disebut sebagai figur yang kelak akan meneruskan posisi senior partainya, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI.

Namun berbagai wacana terus berkembang, termasuk menduetkan Jokowi dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Pilpres 2019. Wacana itu bisa saja terwujud, tetapi kelihatannya akan melalui proses yang cukup panjang. Seperti sama-sama kita ketahui bahwa komunikasi antara Megawati (Ketua Umum PDIP) dan SBY (Ketua Umum Partai Demokrat) telah mengalami kebekuan yang hingga saat ini masih belum terlihat sublimitas komunikasi keduanya. Hal ini akan menyulitkan Jokowi dan AHY untuk berpasangan, pasalnya secara tersirat “pemilik” dari Jokowi dan AHY tak akan dengan mudah meminggirkan ego untuk mewujudkan Jokowi-AHY pada gelaran Pilpres 2019.

Lalu bagaimana dengan Cak Imin?? Muhaimin Iskandar tentu bukan nama baru di jagat perpolitikan tanah air. Dirinya kini menjabat sebagai Ketua Umum PKB, sebuah partai besar yang berideologi keagamaan. Jika mendasarkan pada kebutuhan Jokowi untuk menyeimbangkan isu-isu yang selama 4 tahun menghantui pemerintahaannya, yakni isu politik identitas berbalut keagamaan, figur Cak Imin yang berdiri disampingnya akan mementahkan segala macam isu yang terus menjadi momok 4 tahun kebelakang.

Namun itu juga tak cukup kuat, karena isu ideologi semacam diskriminasi agama dan komunis, mengalami pembonsaian, artinya terlihat bagus diluar dan pantas diperdebatkan namun sebetulnya kerdil dengan nilai dan hal yang berkualitas, bisa dikatakan rapuh. Jokowi sudah cukup mahir untuk melakukan manajemen isu terkait ideologi dan dirinya. Selama 4 tahun diterpa angin berita, tak meminggirkan dan juga tak sampai melemahkan posisi Jokowi sebagai caretaker pembangunan. Artinya, isu keagamaan adalah isu langitan dan terlalu mengawang-awang untuk dijadikan sebagai sebuah peluru tajam yang dapat menembus batas nalar manusia Indonesia dalam menentukan pemimpinnya.

Pada hasil survei Lembaga Median, Jokowi justru dianggap lemah pada bidang ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Melakukan percepatan pembangunan yang berfokus pada peningkatan infrastruktur tentu akan memakan korban pada sektor lain. Pembangunan infrastruktur yang keuntungannya dapat dirasakan dalam jangka panjang, sangat banyak menguras anggaran, termasuk anggaran kesejahteraan rakyat. Bahkan Kementerian Keuangan terus menerus mencari sumber pendanaan untuk membiayai segala macam keperluan pemerintah dalam melakukan pembangunan infrastruktur, termasuk melalui jalur pinjaman dalam dan luar negeri, peningkatan pemasukan pajak, dan upaya lainnya.

Penting bagi Jokowi tampaknya untuk memilih pendamping yang kuat secara basis ekonomi, dapat diterima pasar, dan memahami secara makro maupun mikro tentang mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia pada 2019 nanti. Komitmennya adalah, membalikkan logika pasar bahwa pembangunan infrastruktur dapat memacu pertumbuhan ekonomi tanpa harus mengorbankan program kesejahteraan rakyat. Untuk hal ini ada 3 nama yang terlihat ideal dengan segala latar belakangnya, Airlangga Hartarto, Sri Mulyani dan Rizal Ramli.

Nama Airlangga Hartarto muncul belakangan sebetulnya, namanya mulai menggema ketika dirinya berhasil menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada Munaslub 2017. Airlangga mulai disebut atas kaitannya pada jabatan orang nomor 1 di Partai Golkar. Kita dapat menilai secara skeptis bahwa kekuatan Airlangga adalah gerbong besar yang dimilikinya atas partai berlambang beringin. Sebagai Menteri Perindustrian RI, nama Airlangga kurang mendapat tempat di hati publik walaupun bisa dikatakan jika Airlangga adalah menteri yang sangat berprestasi. Namun apa yang dilakukan Airlangga memang tidak pernah mendekati sekrup populis dan menghasilkan skala elektoral yang positif.

Pembawaan Airlangga yang tenang juga menyulitkan dirinya untuk mencuri sedikit perhatian publik atas figurnya. Dalam sisa waktu beberapa bulan menuju pendaftaran Pilpres 2019, Airlangga harus terus memacu kerja elektoral atas dirinya. Sehingga dapat menunjang faktor akseptabilitas yang lebih dulu dimilikinya bersama Partai Golkar. Mengapa demikian? Ada kiranya kita tak perlu pertanyakan akseptabilitas Airlangga di tataran elite. Dengan membawa nama besar Partai Golkar dan lingkup lingkungan politiknya, Airlangga dapat dengan mudah memberikan posisi tawar yang baik untuk posisi Cawapres Jokowi. Namun permasalahan popularitas lah yang menjadi pekerjaan besar Partai Golkar dan Airlangga.

Bagaimana dengan Sri Mulyani dan Rizal Ramli? Keduanya tidak memiliki partai walaupun kapabilitasnya cukup mumpuni di bidang ekonomi. Namun bukan berarti kesempatan sudah tertutup, pada Pemilu Presiden 2009, seorang SBY juga memilih Prof. Boediono sebagai pendampingnya. Padahal posisi Boediono jelas tidak memiliki partai dan tak memiliki popularitas juga elektabilitas sebagai politisi nasional. Namun elektabilitas SBY mampu mendongkrak segala kekurangan Boediono secara politis. Pertimbangannya adalah kebutuhan akan formulasi kebijakan ekonomi.

Hal serupa juga dapat dilakukan Jokowi jika menginginkannya. Namun melihat hasil survei belakangan ini, tak baik rasanya jika Jokowi over confidence dengan meminang ekonom tanpa latar belakang partai yang kuat. Apalagi untuk seorang Sri Mulyani yang sebetulnya masih tersandera oleh kasus skandal Bank Century. Riskan jika memaksakan Sri Mulyani menjadi pendamping Jokowi, yang akan terjadi justru selama 5 tahun masa jabatan akan sibuk menangkal isu yang dihempaskan dari kasus tersebut.

Rizal Ramli adalah figur yang cukup bersih dan ideal jika dilihat dari segala sisi. Namun kita ingat jika karakter Rizal Ramli sulit untuk melakukan kompromi terhadap kebijakan yang sifatnya tertutup (close policy). Rizal Ramli juga sempat direshuffle dari Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK pada 2016 silam. Tak jelas mengapa Rizal Ramli direshuffle, ada selentingan kabar yang mengatakan jika Rizal Ramli terlalu gaduh di kabinet. Bahkan dirinya sempat saling silang pendapat dengan mitra sejawatnya, Sudirman Said dan Gubernur DKI Jakarta kala itu Basuki Tjahaja Purnama.

Kekurangan Rizal Ramli yang tampaknya kurang bisa memoderasi berbagai kepentingan akan menyulitkan ruang gerak para menteri kabinet dan bahkan presiden sendiri nantinya. Hal ini tidak baik bagi soliditas kabinet bentukan presiden kelak. Kembali pada Airlangga Hartarto, dirinya merupakan antitesis dari Sri Mulyani dan Rizal Ramli. Memiliki track record yang bersih dan dapat beradaptasi dengan segala kondisi membuat Airlangga tampaknya pribadi yang akan disukai masyarakat jika diberikan panggung lebih. Hanya saja, Airlangga harus terlihat lebih membumi agar dikenal secara populis oleh masyarakat luas. Perlu diingat, jika modal memiliki Partai Golkar adalah bagian penting dari posisi tawar Airlangga Hartarto.

Berlatih tinju sudah dilakukan Presiden Jokowi yang akan mencalonkan diri kembali pada Pilpres 2019. Mulai sejak saat itu, Jokowi sudah mempersiapkan segalanya, termasuk juga ring tinju tempatnya berjibaku mempertahankan gelar juara. Jika menimbang para kompetitor, Jokowi memiliki kelebihan sudah berlatih sejak 2014 lalu. Pertempuran demi pertempuran pun dapat dilaluinya dengan baik tanpa menimbulkan luka berlebihan pada lawannya. Hanya saja, suporter masih tidak bisa menerima kekalahan jagoannya (lawan Jokowi) dan menghendaki pertandingan ulang pada Pilpres 2019 nanti. Segalanya sudah siap, Jokowi hanya tinggal memilih sparring partner baginya untuk menguatkan posisi ketika pertandingan benar-benar digelar. Sementara itu di luar ring, sorak sorai penonton terus bergemuruh memanaskan tensi pertandingan.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #jokowi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

Oleh Swary Utami Dewi
pada hari Senin, 22 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...
Opini

Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo adalah dua hal yang dapat di sebut sebagai sebab dan akibat. Putusan MK dalam gugatan Pilpres, akan menjadi sebab dan penyebab ...