Opini
Oleh Fakhruddin Muchtar (Direktur Rephilosophy Public Community/Republic) pada hari Rabu, 28 Mar 2018 - 08:14:18 WIB
Bagikan Berita ini :

Nudge Theory: Arsitektur Pilihan Demokrat

42Fachruddin-Bara.jpg
Fakhruddin Muchtar (Sumber foto : Istimewa)

“Manusia adalah makhluk dimensional. Kadang kita tidak sadar bahwa apa yang kita pikir rasional sebenarnya dipengaruhi oleh hal-hal irasional. Welcome to nudge theory.”

Penggalan kalimat pendek ini cukup menggelitik untuk memancing publik mengenal apa itu Nudge Theory. Yang membuat itu lebih menarik sesungguhnya adalah karena awal kalimat dalam video berjudul “Nudge Theory – Richard Thaler” itu justru disampaikan oleh seorang politisi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).

Video di chanel Youtube Ketua Fraksi Demokrat ini kelihatannya memang hanya bagian dari tugas di Program Doktor Managemen Bisnis, Sekolah Bisnis - Institut Pertanian Bogor (SB-IPB). Tetapi di tahun politik ini, segala yang dilakukan oleh para politisi selalu menarik diperhatikan sebagai bagian dari strategi politik. Tidak terkecuali Demokrat.

Akankah nudge theory yang sedang dikaji oleh Ketua Fraksi Demokrat ini sekadar untuk kajian teoritis studi doktoral? Atau juga akan menjadi bagian dari pendekatan praktis partai yang pernah berkuasa selama dua periode ini, untuk kembali ke puncak kekuasaan?

Sebab sebagai behavioral economics, teori yang mengantarkan Richard H. Thaler mendapatkan Nobel di bidang ekonomi tahun 2017 ini sesungguhnya memang lebih berorentasi praktis ketimbang teoritis. Dan telah terbukti efektif diterapkan di berbagai bidang, termasuk sebagai pendekatan politik di beberapa negara maju.

Nudge Theory

Dalam Nudge: Improving Decisions about Health, Wealth, and Happines, Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein mendefinisikan:

“A nudge, as we will use the term, is any aspect of the choice architecture that alters people’s behavior in a predictable way without forbidding any options or significantly changing their economic incentives. To count as a mere nudge, the intervention must be easy and cheap to avoid. Nudges are not mandates.”

Nudge (dorongan), sebagaimana kita akan menggunakan istilah itu, adalah aspek apapun dari ‘choice architectur’ (arsitektur pilihan) yang mengubah perilaku orang dengan cara terprediksi tanpa melarang opsi apapun atau mengubah insentif ekonomi mereka secara signifikan. Mengingat sebagai sekedar dorongan, intervensi tersebut harus mudah dan murah untuk dihindari. Nudge bukan perintah.

Arsitektur pilihan adalah sebuah desain yang ditawarkan untuk dapat mempengaruhi orang lain dalam membuat keputusan. Thaler menjelaskan bahwa choice arcitect (arsitek pilihan) adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengatur konteks bagaimana orang lain membuat pilihan. Jika Anda mendesain kertas suara –salah satu contoh yang ia berikan– untuk memilih para kandidat, Anda adalah seorang arsitek pilihan.

Kemampuan menyusun desain pilihan yang cenderung untuk diikuti inilah yang menjadikan nudge theory seksi untuk dibicarakan. Dan kutipan yang menjadi pengantar di atas mungkin cukup representatif menyimpulkan keunikannya, bahwa kadang kita tidak sadar apa yang kita pikir rasional sebenarnya dipengaruhi oleh hal-hal irasional.

Thaler memulai teorinya dengan pembedaan antara dua sistem berpikir; Automatic System (Sistem Otomatis) dan Reflective System (Sistem Reflektif). Automatic system bersifat cepat dan instingtif, sehingga relatif tidak terkait dengan aktifitas yang kita sebut sebagai ‘berpikir’. Menghindari bola yang datang tidak terduga, atau tersenyum melihat anak anjing yang lucu adalah contoh automatic system. Sedangkan menulis, menghitung, atau menentukan arah, adalah contoh dari reflectif system yang sifatnya memang kita lakukan secara sengaja dan penuh kesadaran.

Pendek kata, reflective system bersifat lebih rasional, dan automatic system cenderung irasional dalam arti tidak banyak melibatkan proses berpikir.

Efektifitas nudge theory sebagai pendekatan adalah karena ternyata dalam mengambil keputusan seseorang cenderung memilih dorongan automatic system yang irasional ketimbang reflective system. Sebab di samping pertimbangan rasional, manusia juga memiliki kecenderungan lain yang dominan dan menjadi perhatian nudge theory –yang dua di antaranya disebutkan dalam video tersebut– seperti menghindari resiko atau kerugian (risk/loss aversion) dan mengikuti norma sosial (social norms) yang cenderung dipilih oleh mayoritas.

Libertarian Paternalism

Dalam konteks ideologi, Thaler dan Sunstein memetakan teori mereka sebagai Libertarian Paternalism. Penamaan yang agak paradoks mengingat Libertarianism memperjuangkan kebebasan memilih, sementara Paternalism cenderung mengintervensi pilihan.

Thaler dan Sunstein juga menyadari paradoks ini dan karenanya sejak awal menjelaskan aspek libertarian dan paternalistik yang mereka maksud. Pendekatan ini bersifat libertarian karena meyakini bahwa manusia bebas untuk melakukan apa yang mereka sukai dan menghindari apa yang tidak mereka inginkan. Orientasinya untuk mempertahankan dan mengembangkan kebebasan memilih (freedom of choice).

Adapun aspek paternalistik terletak pada bolehnya seorang choice architect mencoba mempengaruhi perilaku seseorang untuk membuat seseorang hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih baik. Sebab tidak sedikit orang yang membuat keputusan buruk hanya karena kurangnya kesadaran, informasi, pemahaman, atau pengendalian diri. Dengan kata lain, tujuan dari aspek paternalistik yang dipadu dengan libertarian ini adalah dalam konteks menjaga diri (self-preserving) seseorang untuk pada akhirnya secara bebas menentukan pilihannya sendiri.

Terlepas dari pro-kontra di dalamnya, menghadirkan nudge theory dan Libertarian Paternalism sebagai sebuah pendekatan politik sebenarnya akan menjadi pilihan menarik ketimbang hanya menjadikannya sebuah studi teoritis. Menarik setidaknya bagi mereka yang ingin menguji seberapa efektif nudge theory diterapkan, atau seberapa mampu Libertarian Paternalism mewarnai pertarungan ideologis di tanah air.

Arsitektur Pilihan Demokrat

Publik mulai lelah dengan isu politis yang membenturkan nasionalisme dan agama yang –terlepas siapa yang memulainya– seharusnya tidak perlu terjadi. Seolah-olah mereka yang nasionalis mustahil menjadi seorang religius, sebagaimana seorang religius tidak mungkin menjadi seorang nasionalis. Sebuah isu yang cenderung lupa sejarah, seakan para pendiri bangsa hanya memperjuangkan salah satu dari kedua pilihan ini.

Kalaupun yang dimaksud sebagai religius hanya pada gerakan fundamentalis. Perlu dikaji kembali dari mana sebenarnya ketidakpuasan ini berasal, sehingga mereka menawarkan sesuatu yang lain. Karena menarik dipertimbangkan apa yang disampaikan Ian Adams dalam Political Ideology Today misalnya, bahwa salah satu alasan munculnya fundamentalisme agama anti-Barat adalah banyaknya beban utang negara. Ini juga yang menjadi salah satu alasan menguatnya gerakan internasionalisme, yang di Indonesia santer dengan keinginan khilafah.

Bagaimanapun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak awal terdiri dari beragam suku bangsa dan agama. Bermain-main dengan isu nasionalis versus religius sama sekali tidak produktif dan hanya berpotensi memecah-belah NKRI. Di Indonesia nasionalisme dan religiusitas adalah dua hal final yang tak terpisahkan dalam simpul Pancasila.

Sudah tepat sejak awal Partai Demokrat menyebut dirinya sebagai partai yang nasionalis-religius, sehingga tidak perlu termakan isu SARA yang selalu ramai menjadi alat propaganda di tiap momen politik. Nasionalis-religius –meski tidak ekplisit menyebutnya demikian– sudah semestinya menjadi fondasi setiap partai di tanah air, sebelum menentukan arsitektur apa yang akan mereka bangun di atasnya untuk ditawarkan kepada publik.

Dalam mengurangi apatisme politik, publik membutuhkan tontonan yang mendidik. Yang menarik mereka untuk melihat lebih luas semesta politik dan menemukan sisi baik di dalamnya. Dan dalam menemukan itu yang mereka butuhkan bukan desakan apalagi perpecahan. Tapi cukup sebuah dorongan kecil atau sentuhan.

Karenanya, menarik bagi penikmat studi politik untuk menantikan apakah nudge theory juga akan menjadi bagian arsitektur bangunan pilihan Demokrat di atas fondasi nasionalis-religius, atau tidak. Yang jelas closing statemen Ibas dalam video berdurasi 9 menit itu sudah menunjukan sebuah dorongan kecil, “Selamat datang di dunia penuh sentuhan.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #partai-demokrat  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...