JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Wasekjen PP PPP Achmad Baidowi meminta Ketua KPK Agus Rahardjo tidak banyak bicara layaknya seorang pengamat.
Baidlowi memperntanyakan konsistensi Agus, yang pernah melontarkan statemen sebanyak 90 % calon kepala daerah berpotensi terjerat hukum.
Meski kemudian diralat, kata dia, pernyataan orang nomor satu di Komisi Antirasuah itu justru membuat kegaduhan politik baru menjelang Pilkada serentak 2018.
“Jadi, KPK kalau ada bukti kuat langsung proses hukumnya ditindaklanjuti, siapapun mereka. Tidak perlu banyak bicara seperti pengamat. KPK harus banyak bertindak,” kata Baidlow di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Hal ini disampaikan Baidlowi terkait juga dengan wacana revisi UU Pilkada, menyusul beberapa calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum di KPK.
Menyikapi hal itu, menurut Baidowi, perlu terobosan hukum bagi calon kepala daerah yang menjadi tersangka apakah bisa diganti atau tidak. “Sebab, menurut UU Pilkada UU No. 10 2016 pasal 53 dan 54 bahwa Parpol tak boleh menarik pasangan calon dan tak boleh diganti kecuali meninggal dunia,” ujar anggota Komisi II DPR itu.
Karenanya, sebagai solusi perlu dilaukan revisi terhadap UU No. 10 tahun 2016. Hanya saja, lanjut dia, saat ini sudah tidak mungkin mengingat waktunya yang sudah sangat mepet. “Maka dimungkinkan untuk periode ke depan. Revisi nanti harus ada usulan dari pemeirntah maupun DPR RI,” jelas Awiek sapaan akrab politisi dari Madura ini.
Mengapa? Menurut Awiek, paslon yang sudah ditetapkan oleh KPU meski menjadi tersangka tidak menggugurkannya sampai ada keputusan hukum tetap atau inkrah. “Kalau tersangka dan terpilih dalam Pilkada, maka tetap dilantik. Tapi, setelah itu baru diberhentikan,” pungkasnya.
Sementara itu, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sabastian Salang mengatakan, sebenarnya masalah calon kepala daerah menjadi tersangka ini bukan sesuatu yang baru. Tetapi sudah sejak Pilkada 2014 dan 2015 sudah tada. “Namun, persoalannya kenapa dalam setiap revisi UU Pilkada tidak ditindaklanjuti oleh DPR,” katanya penasaran.
“Seandainya kesadaran itu ada di pemerintah dan DPR RI sejak dulu, maka tak akan masalah yang diributkan seperti sekarang ini. Jadi, revisi tak mungkin, dan apalagi Perppu karena tak ada alasan kegentingan yang memaksa,” tegas KPK kata Sabastian, memang pernah menyebut sebanyak 90 % paslon kepala daerah berpotensi terjerat hukum, tapi kemudian diralat. “Apa jadinya kalau 90 % itu kena kasus hukum? Pasti akan ada kegoncangan politik,” kata dia.
Lalu saat ditanya apakah perlu Perppu atau revisi UU Pilkada, Sabastian menyebut, kalau Perppu tak ada kegentingan, kecuali 90% kepala daerah menjadi tersangka. “Juga tak mungkin revisi UU hanya untuk kepentingan Pilkada 2018 ini, melainkan revisi untuk Pilkada ke depan,” pungkas Sabastian. (Alf)