Opini
Oleh Samuel Lengkey (Advokat, Dir. Eks Jaringan Analisis Strategis) pada hari Selasa, 24 Apr 2018 - 09:02:49 WIB
Bagikan Berita ini :

Pertemuan Prabowo dan Luhut Binsar Panjaitan di Grand Hyatt (III)

62Samuel-Lengkey.jpg.jpg
Samuel Lengkey (Sumber foto : Istimewa)

Dalam #catatanfiksi lanjutan 2, kita masih membayangkan materi diskusi pertemuan 08 dan LBP seputar wacana capres dan cawapres dari pihak think thank (konseptor) istana. Tentunya pihak konseptor yang mengajukan usulan tersebut menyadari kapasitas Jokowi sebagai Presiden yang memiliki banyak keterbatasan dalam menyerap situasi politik dan kondisi masyarakat paling bawah. Kegalauan dan kegamangan ini ia coba buktikan dengan melakukan kunjungan hampir setiap hari ke desa-desa terpencil di seluruh Indonesia. Blusukan pakaipesawat, fasilitas mewah, pengawalan dari negara adalah konsekwensi dia sebagai Presiden. Disamping itu seluruh anggaran mulai berangkat dari Jakarta ke lokasi yang dituju, biaya dilokasi tersebut dan sampai kembali lagi ke istana nyamannya. Semua kemewahan tersebut, memang menghabiskan biaya miliaran rupiah dari uang rakyat demi kenyamanan dan keamanan presiden.

Memang blusukan ini sangat baik untuk rakyat, karena rakyat bisa bertemu dengan presidennya, ia bisa bercanda dengan rakyatnya secara langsung, mendengar tawa dan keluhan rakyat secara langsung, melihat langsung kondisi ekonomi rakyat, memantau sendiri program yang ia sudah canangkan. Semua ini merupakan berbagai upaya dari para konseptor untuk menguji popularitas dan akseptabilitas masyarakat terhadap kepemimpinan presiden. Setiap ia gunakan uang rakyat demi blusukannya, ia tentu berharap kepuasan, dan mendapatkan simpati dari rakyatnya, tapi apakah semua upaya itu sesuai dengan apa yang ia inginkan? Jika melihat seluruh hasil lembaga survey saat ini, upaya Jokowi ternyata tidak sebanding dengan hasil lembaga-lembaga survey tersebut. Ini mungkin sulit diterima oleh kapasitas intelektualnya, karena seharusnya apa yang ia lihat dilapangan dan antusias masyarakat terhadapnya, harus sesuai dengan hasil lembaga-lembaga survey.

Konseptor tentunya bertanggung jawab penuh terhadap elektabilitas sang Presiden, ukuran elektabilitas harus berdasarkan data dan fakta yang objektif. Salah satu ukurannya adalah mengukur apa yang sedang dirasakan masyarakat terhadap kinerja presiden. Apakah program presiden sudah mampu memberikan kepuasan terhadap masyarakat, apakah masyarakat senang dengan semua pembantu presiden yang diberi tugas untuk melakukan pekerjaannya disetiap kementerian?. Apakah semua kebijakannya telah mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan public?. Apakah kebutuhan dasar masyarakat menyangkut sandang, pangan dan papan telah terpenuhi?. Semua itu tentu membutuhkan kerja keras dari konseptor untuk memaparkan datanya secara faktual.

Konseptorlah yang bisa mengukur tingkat kepuasan, menilai kesuksesan program, dan mengevaluasi seluruh program yang telah dicanangkan presiden. Hasil dari penelitian tim konseptor tentunya menjadi bahan data empirik dan faktual, untuk menyusun program yang sudah berjalan dan menambah atau mengurang program yang sedang berjalan atau akan berjalan nantinya. Tujuan akhir dari tim konseptor adalah memoles citra presiden dimata masyarakat. Tim inilah yang setiap hari berkordinasi dengan tim kepresidenan untuk memberikan masukan, mengoreksi kinerja, menilai performa penampilan presiden dilapangan, menata gaya presiden agar dapat ditampilan secara sempurna di media sosial, media massa dan terlihat menarik, merakyat dan mempesona pemilihnya dan calon pemilihnya nanti.

Konseptor ini adalah tim yang paling menentukan dari semua rangkaian pencitraan presiden, karena kegagalan konseptor mendesain gaya, penampilan Presiden maka hasilnya akan berakibat fatal bagi elektabilitas presiden. Mereka harus mengantisipasi dari berbuat kesalahan, karena kesalahan kecil dapat berakibat fatal bagi popularitas presiden. Salah satu bentuk kesalahan yang wajib dihindari adalah kekecewaan dan kemarahan dari masyarakat. Pemilihnya dan calon pemilihnya harus dipuaskan dengan penampilan sempuran sang Presiden. Kadang kala tak diperlukan pencapaian program, tak perlu selesai proyek yang dijanjikan, yang penting gaya dan penampilannya dapat terus mempesona pemilihnya. Karena, unsur pesona akan memberikan efek psikologi yakni kekaguman.

Kekaguman adalah unsur yang sangat penting dalam pencitraan. Perasaan kagum akan membangkitkan militansi bagi orang-orang yang mengalami perasaan ini. Jika pemilih telah sampai pada perasaan kagum, maka pikirannya didominasi oleh perasaan subjekti dalam menilai seseorang, kadang ia tak perduli dengan kelemahan seseorang, tak perduli tanggapan seseorang atau tak mau mendengarkan nasihat orang lain. Perasaannya diliputi oleh kesenangan pada seseorang dan dalam kondisi ini orang yang kagum sangat sensitif terhadap segala bentuk pernyataan kritis atau menyerang orang yang dikaguminya. Ini adalah salah satu kelemahan dan kelebihan semua manusia dan ini hal yang alamiah. Kelebihan dan kelemahan atas kekaguman inilah yang dituju oleh para konseptor untuk membangun pencitraan.

Pemilih dan calon pemilih presiden adalah sasaran strategis tim konseptor, karena merekalah pemilik kedaulatan, pemilik hak suara yang harus diminta legitimasi kekuasaan. Merekalah modal kekuasaan untuk memimpin negara, tanpa mereka maka tak mungkin seseorang menjadi presiden dan menikmati semua fasilitas negara, mengatur negara, mengelolah negara dan mendapat kehormatan. Pemilih dan calon pemilihlah yang membuat orang tersebut dapat menikmati semua fasilitas VVIP (very very important person) dan modalnya sangat sederhana, yakni popularitas.

Popularitas itulah yang membuat dia bisa menjadi presiden, dicium tangannya dengan sikap membungkuk, dilayani secara sempurna oleh semua orang, ditakuti semua orang karena memiliki kekuasaan untuk memerintah, dihormati semua orang karena dialah orang paling penting dari semua orang penting direpublik. Dialah yang bisa mengendalikan semua lembaga eksekutif negara dan kekuasaan semacam ini adalah kekuasaan yang memabukkan, membuat semua orang ketagihan dan rela melakukan apa saja untuk sampai diposisi itu.

Dalam sistim yang dianut bangsa Indonesia saat ini, setelah UUD 1945 di amandemen sebanyak 4 (empat) kali mulai dari 1999, 2000, 2001, dan 2002, maka sistim ini yang memberikan landasan konstitusi bagi semua orang bisa menjadi presiden dengan modal popularitas saja. Orang populer atau tekenal tersebut, tak perlu cerdas, tak perlu berpengalaman, tak perlu nasionalis, tak perlu taat beragama, jika anda seorang yang popular, banyak disukai, banyak dipilih oleh rakyat, maka anda sudah bisa menjadi Presiden. Dengan popularitas tersebut dapat membuat anda menjadi kaya raya, karena semua yang punya kepentingan terhadap kekuasaan presiden, rela memberi bantuan keuangan demi investasi masa depan bisnis penyumbangnya. Inilah tugas utama tim konseptor untuk mempopulerkan seseorang demi mencapai kursi presiden.

Jokowi sebagai presiden tentu memiliki seluruh fasilitas untuk menjaga popularitasnya. Dia punya akses keuangan untuk digunakan dalam membangun citra positif. Kekuatan dana yang sangat besar untuk dikemas dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat miskin, memberikan bantuan sembako atau makanan untuk masyarakat yang lapar, bagi rakyat yang tak punya uang untuk membeli sembako karena semakin mahal, memberikan dana pendidikan bagi semua siswa dan mahasiswa yang sulit membayar biaya pendidikan. Ini adalah modal Presiden untuk meraih simpati pemilih, baik pemilih lama dan pemilih pemula. Disamping itu banyak dana dan fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang tak mampu membayar biaya kesehatan yang sangat besar. Ini merupakan modal Presiden untuk mempertahankan popularitas dan meningkatkan elektabilitasnya.

Tapi, bukankah semua dana yang dikelolah negara dan program presiden berasal dari uang rakyat? Dan bukankan semua presiden wajib melakukan kewajiban itu, karena semua presiden diberikan kekuasaan untuk melayani rakyat? Jadi kenapa harus dijadikan ruang pencitraan demi popularitas? Tentunya bagian ini mesti didalami secara kritis dan proporsional dan akan saya kemukakan di #catatanfiksi lainya.

Mungkin ini yang harus disadari oleh 08 dan LBP dibalik pertemuan tersebut. Namun bila pertemuan 08 dan LBP untuk membahas kursi Capres dan Cawapres, versi lembaga think thank, maka mereka berdua tentunya tak akan membuka rahasia masing-masing. Karena masing-masing sudah memiliki lembaga think thank (konseptor) tersendiri. Tentunya konseptor 08 untuk membawa 08 menjadi Presiden dan bagi LBP konseptornya bertugas untuk mempertahankan popularitas Jokowi agar tetap tinggi, supaya dapat dipilih kembali menjadi presiden.

Konsekwensi dari semua itu adalah LBP harus berhadapan dengan sahabatnya itu untuk bertarung di pilpres 2019.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #prabowo-subianto  #luhut-binsar-pandjaitan  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 20 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dari semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy ...
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...