Berita
Oleh Syamsul Bachtiar pada hari Kamis, 03 Mei 2018 - 01:13:21 WIB
Bagikan Berita ini :

Hakim Dinilai Salah Terapkan Pasal dalam Kasus Ridwan Mukti

37IMG-20180111-WA0032-1-750x430.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pakar Hukum Pidana UII Yogyakarta Mudzakkir menganggap hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan pasal saat memutuskan hukum pada kasus mantan GubernurBengkulu Non AktifRidwan dan istrinya Lily Martiani Maddari.

Dikatakan Mudzakkir, dalam Pasal 12 huruf a UU Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, subjek yang melakukan memiliki syarat khusus, yakni harus penyelenggara Negara alias pegawai negeri.

Masalahnya, kata dia, pelaku utama adalah sang istri Gubernur yang hanya ibu rumah tangga.

Sayangnya, kata Mudzakkir, dalam kontruksi dakwaan, seolah-olah pelaku utamanya adalah Ridwan bersama-sama dengan istrinya.

"Ini tiba-tiba kasusnya dibalik. Suaminya bersama-sama dengan istrinya. Kalau bersama-sama, dua-duanya harus pegawai Negeri. Memang yang menerima hadiah istri Gubernur. Dia bertindak sendiri dan bukan untuk dan atas nama Gubernur. Ini fakta di persidangan dan ada itu," kata Mudzakkir dalam diskusi "Eksaminasi Putusan PN Tipikor Bengkulu dan Putusan Banding PT Bengkulu atas kasus Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu Non Aktif" di Jalan Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (2/5/2018).

Dengan bukti tersebut, artinya penyidik KPK tak bisa menentukan subjek hukum. Meskipun dalam pasal 11 A ada menyebut orang lain yang berhubungan, tetapi fakta hukum dalam persidangan, yang menerima, dan yang melakukan komunikasi aktif adalah istrinya.

"Artinya, istrinya ini adalah pelaku utama. Itu masuk suap pada umumnya. Bukan suap Khusus. Ini masuk UU 11 Tahun 1980," terang Mudzakir.

Selain itu, lanjut dia, jika dilihat syarat objektif, Ridwan tidak ada di lokasi saat terjadinya OTT suap.

Hal lain juga yang perlu dikritisi, pada pasal 12 UU yang sama, dalam masalah keturutsertaan, disebutkan memberi hadiah agar mendapat sesuatu atau menggerakkan orang berbuat sesuatu. Masalahnya, terbukti bahwa yang memberi adalah pemenang lelang.

"Sudah sah menang lelang. Jadi menggerakkan untuk apa? Dalam putusannya juga tidak menunjukkan uang suap itu untuk menggerakkan apa. Kalau itu, memberi sesuatu karena sudah dimenangkan itu namanya ucapan terimakasih. Itu masuk dalam pasal 5 ayat dua huruf B. Ini berbeda lagi. Tapi dikenakannya pasal 12 huruf A. Kalau itu suap, berarti Gubernur bisa semaunya sendiri membatalkan pemenang itu. Padahal tidak bisa begitu kan," bebernya.

Sementara itu, manta Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengungkapkan, penegakan hukum harus dilakukan sesuai dengan prinsip hukum materiil dan formil.

"Terutama formil, seperti pembuktian. Karena itu, aparat hukum harus objektif. Tidak boleh ada tekanan. Tidak boleh dengan gregetan karena tidak suka dan marah kepada seseorang. Eksaminasi hari ini, upaya masyakarat sipil memberi catatan kritis penegakan hukum yang fair dan adil," ucap dia.

Menurut Suparman, prinsip objektif dan imparsialitas hakim mutlak dalam penegakan hukum. Secara materiil, hakim dalam pembuktian juga tidak boleh ragu-ragu. "Apakah hakim memeriksa, mengadili dan memutus dengan fair? Bisa dilihat itu," ungkapnya.

"Dilihat putusannya, lembaga hukum itu alergi, kalau KY memeriksa putusan hukum. Untuk mengetahui ada pelanggaran etika ya lihat pertimbangannya," ujar dia.

Karena itu, Suparman mengimbau agar putusan hakim sesuai dan objektif di semua level peradilan.

Dia tidak ingin ada review putusan hakim dari lembaga luar Negeri dan hasilnya memalukan.

Senada, Eks Ketua MK Mahfud MD menyatakan, dari hasil eksaminasi putusan ini, dirinya berharap hakim lebih berhati-hati dalam mengambil putusan hukum ke depannya.

"Harus objektif dan tanpa tekanan. Jangan emosional. Harus juga melihat HAM terdakwa," saran Mahfud.

Sementara itu, tim pengacara hukum Ridwan Mukti, Rudjito mengaku sudah nengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Memori kasasi tersebut sudah didaftarkan pihaknya ke MA. "Sudah kami ajukan Senin (30/4/2018) kemarin," ujar Rudjito.

Rudjito mengungkapkan, pihaknya mengajukan kasasi karena merasa putusan Pengadilan Tipikor Bengkulu dan Pengadilan Tinggi Bengkulu kurang tepat.

Disebutkannya, majelis pengadilan tinggi dalam putusannya menghukum Ridwan berdasarkan bukti petunjuk yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam persidangan tingkat pertama.

"Alat bukti baru dimunculkan di tingkat banding. Seharusnya itu dimunculkan di tingkat pertama. Ini salah satu alasan kami mengajukan kasasi," ungkap Rudjito.

Menurutnya, bukti petunjuk tidak dapat dimunculkan oleh majelis pengadilan tinggi karena harus berdasarkan pengamatan fisik. Sementara dalam pengadilan tinggi, majelis hanya melakukan pemeriksaan dokumen.

Rudjito memaparkan, dasar pengadilan tinggi menambah hukuman kliennya juga tidak masuk akal. Lantaran menghubungkan iklim ekonomi dan jalanan rusak ke dalam pertimbangannya.

"Disebutkan dalam putusan alasannya karena jalanan rusak, kriminalitas tinggi, rendahnya investasi. Itu dijadikan dasar putusan, dapat inspirasi dari mana? Kan tidak masuk akal," tegas dia.

Selain itu, Rudjito menilai ada kesalahan hakim dalam menerapkan pasal hukum. Terutama soal dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.

Menurutnya, istrinya adalah pihak yang aktif berkomunikasi dengan pihak pengusaha. Dalam fakta persidangan juga terungkap Ridwan Mukti tidak pernah meminta fee proyek dari pengusaha.

"Hakim juga bahas permufakatan jahat. Padahal itu harus dilakukan oleh dua orang yang memiliki kualifikasi yg sama. Itu kan sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Harus dua-duanya Aparatur Sipil Negara. Tidak bisa satu ASN satu ibu rumah tangga," jelasnya.

Dia berharap majelis kasasi MA dapat mempertimbangkan alasannya mengajukan kasasi dan menghukum kliennya dengan adil.

"Berharap hakim objektif. Sampai kapan pun Pak Ridwan akan menuntut keadilan. Karena yang diputus di tingkat pertama dan banding itu tidak adil. Apakah harus digantungkan berdasarkan sikap mengakui? Kalau nggak ngaku dihukum tinggi. Kalau ngaku dihukum rendah," pungkasnya.

Diketahui, mantan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti divonis Pengadilan Tinggi Bengkulu 9 tahun penjara. Eksaminasi alias uji publik putusan tersebut dirasa patut dilakukan. Sebab, banyak putusan hakim yang kurang tepat di berbagai level peradilan.

Sementara itu, Sekretaris MMD Initiative Imam Marsudidalam sambutannya menyampaikan bahwa eksaminasi akan menjadi agenda rutin lembaganya.

Tujuannya adalah untuk mengkritisi setiap putusan pengadilan yang dinilai kurang bernuansa keadilan.

Ia menambahkan, bahwa MMD initiative selama ini banyak menerima pengaduan masyarakat mengenai kasus hukum yang merugikan.

Oleh sebab itu, eksaminasi penting dilakukan untuk menguji apakah putusan hakim sudah memenuhi rasa keadilan atau tidak.

Sebelumnya, Ridwan dan istrinya Lily Martiani Maddari, dijatuhi hukuman oleh PN Tipokor Bengkulu, dalam kasus OTT KPK terkait suap fee proyek sebesar Rp1 miliar dari salah seorang kontraktor yang mengerjakan proyek jalan di wilayah Kabupaten Rejang Lebong.

Namun, dalam OTT KPK itu, Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti, tidak berada di lokasi kejadian. Dia sedang memimpin rapat di kantor Pemprov Bengkulu.

Diketahui, dalam putusan banding majelis hakim PT Bengkulu, hukuman Ridwan dan Lily bertambah masing-masing menjadi sembilan tahun penjara atau bertambah satu tahun dari putusan hakim PN Bengkulu, sebelumnya masing-masing dijatuhkan delapan tahun penjara.

Demikian pula hak politik Ridwan dicabut selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman penjara dari sebelumnya hanya tiga tahun dan membayar denda Rp400 juta subsider tiga bulan penjara. (Alf)

tag: #kpk  #mahkamah-agung  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement