Opini
Oleh Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik Indonesia) pada hari Jumat, 04 Mei 2018 - 09:30:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Masa Depan Partai Politik Islam Pascapemilu 2019

97Ali-Thaufan-Dwi-Saputra.jpg.jpg
Ali Thaufan DS (Sumber foto : Istimewa)

Gerakan Islam politik –yang ingin menegakkan politik Islam- di Indonesia bergerak masif. Tetapi pada saat bersama, partai politik Islam kurang menggairahkan. Terbukti, dalam beberapa survei elektabilitas parpol belakangan ini, parpol Islam tak mampu menempati urutan tiga besar. Bahkan diprediksi, hanya ada satu parpol Islam di parlemen (lolos parliamentary treshold) pascapemilu 2019.

Keberadaan parpol Islam di Indonesia menurut Firman Noor (2015:14) dikategorikan menjadi tiga model. Pertama, parpol Islam yang secara terang mencantumkan asas dan ideologi Islam dalam anggaran dasarnya. Kedua, parpol Islam yang menggunakan atribut dan simbol yang identik dengan Islam seperti bulan, bintang, Ka’bah dan tulisan-tulisan berbahasa Arab tetapi asas parpol tersebut tidak mencantumkan Islam. Mereka juga mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Ketiga, parpol Islam yang sama sekali tidak menggunakan atribut dan simbol Islam, meski massa pemilihnya adalah umat Islam dan mereka mengkombinasikan ideologi Islam dengan non Islam.

Selepas reformasi 1998, parpol Islam muncul secara signifikan. Merujukan pada buku Kompaspedia Partai Politik Indonesia 1999-2019, Saat itu cukup banyak parpol Islam yang turut menjadi peserta Pemilu 1999, yaitu sebanyak 16 parpol Islam (Litbang Kompas:2016). Akan tetapi, munculnya parpol-parpol Islam justru memecah suara pemilih Islam dan akhirnya parpol Islam tak mampu memenangi Pemilu. Pada 1999 misalnya, Pemilu dimenangi PDI-Perjuangan. PPP yang merupakan representasi parpol Islam hanya menempati urutan tiga. Bahkan, tokoh reformasi Amin Rais yang mendirikan parpol Partai Amanat Nasional (PAN) hanya menempati urutan kelima. Hasil Pemilu 1999 menempatkan 9 parpol Islam di DPR dengan jumlah kursi sebanyak 172 dari 462 total kursi parlemen.

Tak berselang lama pascapemilu 1999, terbit buku berjudul Mengapa Partai Islam Kalah?. Buku ini merupakan kompilasi tulisan para cendekiawan muslim menyoroti kegagalan partai Islam. Jika menelaah kritik terhadap parpol Islam yang ada dalam buku tersebut, penulis mendapati beberapa persoalan antara lain: kelembagaan parpol yang buruk dan parpol Islam cenderung disibukkan dengan konflik internal dan eksternal (sesama parpol Islam).

Laiknya Pemilu 1999, pada Pemilu 2004 parpol Islam kembali berlaga. Akan tetapi, elektabilitasnya tak selalu menggembirakan. Parpol Islam semakin menampakkan adanya konflik internal. Hal ini misalnya dapat dilihat pada kasus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyebabkan dualisme dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyebabkan fragmentasi dan lahirnya parpol baru. Satu-satunya parpol Islam yang sangat solid adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), meski didalamnya juga terdapat riak-riak konflik yang cukup keras namun tak terendus media. Pemilu 2004 diikuti 7 parpol Islam, menempatkan 6 parpol Islam dengan 233 kursi dari total 550.

Pada Pemilu 2009, semua parpol mendapatkan tantangan baru yaitu parliamentary treshold (ambang batas parlemen) sebesar 2,5 persen. Terdapat 11 parpol Islam termasuk parpol Islam lokal Aceh yang mengikuti Pemilu 2009 dari total 38 parpol peserta. Namun karena penerapan ambang batas parlemen, hanya 9 parpol yang lolos parlemen. Dari 9 parpol, terdapat 4 parpol Islam dengan 164 kursi dari total 560 kursi.

Sementara pada Pemilu 2014, tantangan parpol –termasuk parpol Islam- bertambah berat karena ambang batas dinaikan menjadi 3,5 persen. Jumlah parpol peserta Pemilu lebih sedikit, yaitu 15 parpol termasuk 3 parpol lokal Aceh. Pemilu 2014 kembali meloloskan 4 parpol Islam dengan raihan kursi sebanyak 175 dari total 560 kursi. Parpol Islam yang tidak lolos parlemen pada Pemilu 2014 adalah Partai Bulan Bintang (PBB).

Menjelang Pemilu 2019, parpol dihadapan pada kenaikan ambang batas parlemen dari 3,5 persen menjadi 4 persen. Tentu angka tersebut menjadikan parpol harus bekerja ekstra keras untuk dapat lolos parlemen. Selain besaran ambang batas, jumlah parpol yang bertambah juga membuat kompetisi Pemilu kian berat, ditambah dengan sistem Pemilu yang menjadikan Pileg dan Pilpres secara serentak. Pemilu 2019 nanti akan diikuti 20 parpol termasuk didalamnya 4 parpol lokal Aceh. Artinya, untuk parpol yang berebut kursi parlemen sebanyak 16 parpol, yaitu: PDI-Perjuangan, Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, PPP, Perindo, PKS, Nasdem, PAN, Berkarya, Hanura, PBB, Garuda, PSI dan PKPI.

Jika merujuk pada beberapa hasil survei, elektabilitas parpol Islam menunjukkan tren yang tidak baik, bahkan mengkhawatirkan. Pada survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Januari 2018, dengan menggunakan ambang batas parlemen 4 persen, maka hanya ada 6 parpol di parlemen dengan menyisahkan satu parpol Islam, yaitu PKB. Demikian halnya dengan survei yang dilakukan Media Survei Nasioanal (Median) pada Maret 2018, dari 16 parpol dengan ambang batas 4 persen, hanya PKB yang lolos parlemen.

Survei Median menunjukkan bahwa parpol Islam lain sangat tertinggal jauh dengan PKB yang mendapat 8,5 persen. Papol Islam lain, PPP mendapat 3,6 persen; PKS mendapat 2,9 persen; PAN mendapat 2,0 persen; dan PBB mendapat 0,6 persen. Jika mencermati hasil Pemilu 2004, 2009, dan 2014, pola sebaran suara pemilih parpol Islam masih “statis”. Sesama parpol Islam akan saling berebut suara, meminjam istilah Burhanuddin Muhtadi, menyebutnya sebagai “Kanibalisasi” parpol Islam.

Berdasar pada survei di atas, parpol Islam tidak mampu manarik suara parpol-parpol nasionalis. Bahkan, suara parpol Islam di Pemilu 2019 diperkirakan akan “bermigrasi” ke parpol nasionalis. Hal ini dikarenakan parpol-parpol nasionalis aktif dalam kegiatan keagamaan bahkan membentuk ormas sayap partai yang berfokur pada kegiatan keagamaan (Islam). Fenomena masifnya gerakan Islam politik dan menguatnya “politik identitas” pascaPilkada 2017 lalu dan menjelang Pilkada 2018 ternyata belum mampu menaikkan elektabilitas parpol Islam. Justru parpol nasionalis yang mendapat keuntungan dari dua fenomena tersebut.

Elektabilitas parpol Islam yang cenderung menurun perlu disikapi serius internal parpol. Parpol Islam harus memahami perilaku pemilih untuk kemudian menetapkan kebijakan guna meraup suara. Parpol Islam harus bisa menarik pemilih pemula dan generasi milenial (pemilih berumur 17-35 tahun) karena di Pemilu 2019 jumlahnya diperkirakan mencapai 40-55 persen. Parpol Islam harus menyudahi konflik intra-party (seperti terjadi di PPP dan PKS) serta menawarkan gagasan dan solusi persoalan Indonesia.

Kondisi menjelang Pemilu 2019 ini memunculkan hipotesis, apakah masifnya gerakan Islam politik dan politik identitas akan memberi pengaruh pada aspek elektoral parpol Islam? Apakah parpol Islam masih bermasa depan (di parlemen) pascapemilu 2019? Jawabnya ada setelah tanggal 17 April 2019, hari pemungutan suara.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pemilu-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

Oleh Swary Utami Dewi
pada hari Senin, 22 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...
Opini

Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo adalah dua hal yang dapat di sebut sebagai sebab dan akibat. Putusan MK dalam gugatan Pilpres, akan menjadi sebab dan penyebab ...