Opini
Oleh Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi (mantan Aster Kasad) pada hari Minggu, 20 Mei 2018 - 10:37:30 WIB
Bagikan Berita ini :

Validitas Jaminan Keamanan

19sauripkadi.jpg
Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi (mantan Aster Kasad) (Sumber foto : ist)


Tragedi berdarah dalam kasus Napiter di Mako Brimob serta “bom bunuh diri” di Surabaya dan Sidoarjo beberapa hari yang lalu, dengan motif apapun adalah perbuatan keji yang harus kita kutuk bersama. Bangsa ini kembali berduka dan kita semua ikut bela sungkawa yang dalam, seraya berdoa semoga keluarga yang ditinggalkannya kuat serta tabah mengadapi ujian berat tersebut dan semoga arwah para prajurit Polri yang gugur dalam tugas, serta korban tak berdosa lainnya mendapat tempat disisi Nya.

Presiden Jokowi dan sejumlah pejabat tinggi serta elit negeri ini dan tokoh masyarakat dari berbagi penjuru tanah air juga ramai-ramai mengutuknya, sambil mengajak segenap anak bangsa untuk bersatu padu memerangi terorisme. Lebih dari itu, Presiden juga siap menerbitkan PERPPU manakala pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme oleh DPR RI tidak selesai pada Juni mendatang.

Sudah barang tentu menjadi kwajiban kita semua untuk bersatu padu dibawah komando Pemerintah untuk menumpas terorisme dan juga radikalisme sampai keakar-akarnya. Untuk maksud tersebut, bisa saja Pemerintah memprakarsai terbentuknya gerakan kekuatan rakyat terorganisir, seperti yang pernah ditempuh TNI (AD) dalam memerangi DI/TII dan menumpas G30’S/PKI dimasa lalu. Tapi dari sisi waktu, cara tersebut sangat tidak tepat untuk dilaksanakan saat ini. Bagaimanapun kita sudah memasuki tahun politik untuk persiapan Pemilu 2019, jangan sampai niat mulia tersebut justru menjadi bumerang yang bisa mendiskreditkan Pemerintah.

Maka satu-satunya pilihan yang bisa segera dikerjakan adalah dengan mengoptimalkan peran alat kelengkapan negara yang membidangi urusan keamanan yaitu TNI, Polri, BIN dan juga BNPT serta Kementerian dan Lembaga Pemerintah terkait lainnya. Dengan dukungan masyarakat luas maka upaya pencegahan maupun penanggulangan terorisme dan radikalisme niscaya akan efektif. Terkait dengan keperluan tersebut, maka satu hal yang terlebih dahulu harus kita pahami bersama adalah bagaimana realitas negeri ini dalam mengatur sistem keamanan nasional. Sudahkah sistem keamanan yang ada mampu menjamin keamanan bagi segenap anak bangsa dan penduduk lainnya, termasuk dalam menghadapi ancaman terorisme.

Disisi lain, sebagai negara demokrasi maka kita harus menerapkan norma baku yang berlaku secara universal dimana keamanan ditempatkan sebagai out put dari sistem sipil (beradab) dan karenanya dalam menghadapi masalah keamanan haruslah diselesaikan oleh aparatur sipil dan dengan cara-cara sipil. Namun demikian, ketika cara-cara sipil dan oleh orang sipil (termasuk Polisi) gagal atau dipastikan akan gagal dan apalagi dipastikan bakal jatuh korban, maka saat itu pula harus beralih menjadi porsi militer untuk menanganinya dan dengan menggunakan cara-cara militer (Supremasi Militer).

Kerancuan Sistem Keamanan Nasional.

Mebicarakan sistem keamanan yang tergelar untuk kekinian, tidak bisa lepas dari proses panjang bagaimana Orde Baru selama 34 tahun mengelola keamanan nasional (Kamnas). Melalui Tap MPR Nomor: IV/MPR/1978 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, ABRI sebagai modal dasar pembangunan nasional mempunyai 2 Fungsi yaitu bidang Pertahanan Keamanan (Hankam) dan Sosial Politik. Fungsi Hankam sebagaimana yang dimaksudkan diatas adalah peran tunggal bidang Pertahanan Keamanan, sama sekali bukan menggabungkan 2 peran yang masing-masing mandiri yaitu bidang Pertahanan dan peran bidang Keamanan, menjadi satu fungsi yaitu Pertahanan dan Keamanan.

Padanan istilah HANKAM pada era Orde Baru pada sejumlah negara adalah “National Security” atau Kamnas. Hal ini dapat dibuktikan dimana Pangab adalah penanggung jawab tunggal keamanan nasional yang didalamnya termasuk urusan bidang “keamanan dan ketertiban masyarakat” (KAMTIBMAS) yang menjadi salah satu tugas Polri, sementara kedudukan Polri sendiri secara struktural berada dibawah Mabes ABRI.

Sayang sekali dalam era reformasi, para penyusun sejumlah perundang-undangan yang mengatur keamanan begitu saja memisah fungsi HANKAM menjadi dua yaitu bidang Peratahanan menjadi tugas TNI dan Keamanan menjadi tugas Polri. Polri kemudian diberi tugas untuk menangani keamanan dalam negeri (Kamdagri) sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor:2. Tahun 2002. Tentang Polri. Dan lebih jauh lagi peran Polri yang diawal era Reformasi sudah dirancang sebagai bagian dari “law and justice system” berbelok seolah hendak mengganti peran TNI-AD diera Orde Baru dengan sejumlah pembatasan khususnya hal-hal yang tidak sesuai cita rasa demokrasi.

Maka pertanyaan yang harus dijawab adalah dari kewenangan, kekuatan dan kemampuan serta gelar yang mana yang bisa menjamin bahwa Polri akan mampu menangani persoalan Kamdagri. Sementara Tugas dan kewenangan Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai dengan 19 tidak mengatur kewenangan Polri untuk melakukan perlawanan terhadap “kombatan” dan operasi intelejen untuk melakukan penggalangan dan apalagi kontra intelejen.

Sementara itu spektrum persoalan Kamdagri mulai dari persoalan “break the Law”, kertertiban masyarakat sampai dengan pemberontak bersenjata dan juga hakikat ancaman terorisme serta radikalisme, yang tidak semuanya bisa ditangani dengan cara-cara dan tindakan kepolisian. Disisi lain, dalam pengaturan keamanan yang mengancam kemanusiaan dan kecepatan bertindak, Undang-Undang yang ada belum mengatur hubungan antara Polri, TNI, BIN dan sejumlah Kementerian serta Lembaga lainya tak terkecuali dengan Kemenko Polhukam sebagai hubugan yang terintegrasi dalam sebuah sistem keamanan, agar negara segera hadir untuk memberi jaminan keamanan, khususnya terhadap persoalan yang tidak mungkin bisa ditangani oleh sipil termasuk Polri dengan cara-cara sipil, dan apalagi kalau dipastikan bakal timbul korban jiwa. Lantas dari sistem keamanan yang mana, negara akan mampu memberi jaminan keamanan terhadap warga bangsa dan penduduknya dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.

Sementara itu, begitu terjadi masalah kemanusiaan apalagi kalau dibarengi dengan jatuhnya korban jiwa seperti tragedi BOM BUNUH DIRI di Surabaya dan Sidoarjo, tidak ada pejabat lain yang harus bertanggung jawab kecuali Kapolri. Sementara Menko Polhukam sendiri secara politik juga harus menangung beban tanggung jawab tersebut.

Tata Ulang Sistem Keamanan Nasional.

Mengambil hikmah dari tragedi berdarah tersebut diatas, maka disamping persoalan RUU Tindak Pidana Terorisme kini saat yang tepat bagi negara dengan segala kewenangan yang sah yang ada pada dirinya, untuk segera menata ulang sistem keamanan nasional yang mampu merangkai dan mengintegrasikan seluruh alat kelengkapan negara yang menangani keamanan dalam sebuah sistem yang valid yang dapat diuji secara obyektif rasional akan mampu mewujudkan jaminan keamanan bagi segenap anak bangsa dan penduduk lainnya, tanpa harus melanggar norma-norma demokrasi.

Adapun inti penataan sistem keamanan yang dimaksudkan diatas adalah perlunya pengaturan ulang kewenangan komando dan tanggung jawab serta tehnis operasional yang menjamin efektifitas serta kecepatan alat kelengkapan negara untuk bertindak dalam menangani persoalan keamanan dalam berbagai bentuk ancaman apapun, termasuk masalah terorisme dan radikalisme. Bangsa ini perlu segera membentuk Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas) yang diberi kewenangan untuk menentukan siapa yang akan menangani persoalan keamanan terkhusus yang berdampak pada masalah kemanusiaan serta perlunya kecepatan bertindak, apakah menjadi porsi Sipil termasuk Polri ataukah diserahkan kepada TNI untuk mengatasinya. Dan khusus dalam persoalan Terorisme, Wankamnas juga berwenang untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang bersifat persuasif, educatif dan prefentif sekaligus untuk mengakomodasikan keberadaan dan peran BNPT.

Dan hal yang tidak kalah penting lainnya adalah bagaimana Pemerintah mengembangkan kebhinekaan melalui syiar agama apapun yang mendasarkan pada pemahaman ayat secara kontekstual dan sesuai dengan “asbababun nuzul” atau riwayat yang membarengi turunnya ayat, bukan pemahaman secara textual semata yang terkadang membuat agama jsutru sebagai sumber malapetaka kemanusiaan.

TeropongKita adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongKita menjadi tanggung jawab Penulis

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #terorisme  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 20 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dari semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy ...
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...