JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, meningkatnya anggaran Negara untuk alokasi THR dan gaji ke-13 mengindikasikan bahwa memang kondisi real ekonomi masyarakat pada umumnya tengah lesu.
"Kenaikan THR dan gaji ke-13 secara bersamaan ini adalah bagian dari upaya untuk menaikkan kembali daya beli masyarakat. Dengan begitu, maka indikasi adanya penurunan daya beli sungguh-sungguh terjadi," sindir Ketua DPP Gerindra itu kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/05/2018).
Untuk diketahui sepanjang kuartal I-2018, ungkap dia, daya beli masyarakat bergerak stagnan.
"Hal itu terlihat dari konsumsi rumah tangga yang hanya naik 4,95 persen. Angka ini lebih tinggi ketimbang kuartal I-2017 yang tumbuh 4,94 persen, tapi lebih rendah dari kuartal I-2016 yang naik 4,97 persen," paparnya.
Selain konsumsi rumah tangga, terang dia, data lainnya yang menjadi indikator daya beli masyarakat adalah nilai tukar petani (NTP).
Diungkapkan Heri, pada April 2018, NTP tercatat 101,6, turun 1,3 poin dari NTP per Januari 2018 sebesar 102,9.
Dengan kata lain, menurut Heri, daya beli petani sejak awal tahun ini terus melorot.
Lebih jauh, Heri menambahkan, indeks keyakinan konsumen (IKK) juga turun dari 126,1 di Januari menjadi 122 di April 2018.
Penurunan IKK salah satunya karena faktor ekspektasi kesempatan kerja turun, kebijakan pajak dan kenaikan harga energi.
Heri pun berharap, kenaikan THR dan gaji ke-13 yang bersamaan di tahun ini harus mampu menjawab masalah turunnya daya beli itu.
"Dengan begitu, kenaikan THR dan gaji ke-13 bukanlah kebijakan temporer tanpa guna, tapi bisa meenggenjot pertumbuhan ekonomi riil," tandasnya.
Selain itu, Heri menyatakan, yang tidak kalah penting adalah stabilisasi harga pada sebelum dan sesudah Lebaran.
Harga-harga barang, kata dia, terutama bahan-bahan pokok pada saat itu biasanya mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Untuk itu, Heri menyarankan, stabilitas harga perlu dilakukan agar dampak gaji ke-13 dan kenaikan THR aparatur Negara yang jumlahnya sekitar 4,3 juta orang itu dapat signifikan mengerek daya beli masyarakat, sekaligus menjadi momentum bagi dunia usaha.
"Jika kenaikan THR dan gaji ke-13 tak mampu mendorong kenaikan kinerja, daya beli masyarakat dan perekonomian riil, maka lebih baik uang sebanyak itu dibayar untuk mencicil utang yang sudah menembus angka lampu kuning sebesar Rp4.180 triliun," sindirnya.
Terakhir, kata Legislator dari Dapil Jabar IV itu, jika kebijakan kenaikan THR dan gaji ke-13 yang bersamaan itu tidak mampu memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian secara keseluruhan, maka makin kuat dugaan bahwa kebijakan ini sangat berbau populis demi mengejar popularitas di mata rakyat di tahun politik.
"Sulit untuk melepaskan kebijakan ini dengan dugaan politik baik hati pemerintah Jokowi di tengah makin berkurangnya apresiasi rakyat terhadap beberapa kebijakan yang merugikan wong cilik seperti kenaikan BBM, langkanya BBM jenis premium, dan naiknya harga listrik," bebernya.
"Jangan sampai kebijakan berbaik hati itu memunculkan kecemburuan dari yang lain, termasuk tenaga dan guru honorer atau non PNS, yang diberikan untuk level dan golongan tertentu saja. Karena mereka juga telah memberikan pengabdian terhadap bangsa dan Negara ini, harusnya bisa untuk paling tidak secara bertahap menyelesaikan permasalahan honorer ini menjadi pegawai negeri atau ada kejelasan status. Jumlah tenaga kerja honorer ini tidak sedikit, guru honorer saja mencapai 155 ribu orang," pungkasnya. (Alf)