JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Direktur Eksekutif Jakarta Monitoring Network (JMN), Achmad Sulhy menyebut, PT Food Station Tjipinang Jaya tak memiliki kewenangan dalam mengelola komoditas bawang, telur, dan sebagainya.
Sebab, bisnis inti BUMD pangan ini adalah mengurusi soal beras.
Karena itu, Sulhy meminta agar penugasan untuk impor bawang ini dievaluasi kembali.
“Bawang dan telur hanya pelengkap dari kebutuhan pangan. Jadi, mestinya pastikan dulu, evaluasi dulu sudah benar belum ngurus berasnya,” kata Sulhy.
Di sisi lain, lanjut Sulhy, skema pembiayaan atau pembayaran bawang impor ini juga tak jelas.
“Kalau memakai dana penambahan modal daerah (PMD), tentu tak sesuai dengan peruntukannya,” ungkap Sulhy.
Menurutnya, dari sisi core bisnis belum saatnya bermain di bawang dan telur. Core bisnis PT Food Station untuk ketahanan pangan sesuai dengan Perda No. 6 Tahun 2014 adalah beras.
Ia mengatakan, sebelum diberi tugas mengimpor bawang putih dan mengurusi kebutuhan telur, sebaiknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga melakukan audit atas pengelolaan dan ketersediaan stok beras yang dimiliki PT Food Station, selain juga mengaudit penggunaan PMD.
“Lebih baik audit saja dulu stok beras yang dimiliki Food Station, juga pemanfaatan PMD-nya. Sudah sesuai dengan peruntukannya atau belum?,” kata Sulhy.
Sulhy pun menyarankan, sebaiknya PT Food Station berfokus pada bisnis intinya, yaitu beras.
Sebab, persoalan komoditas beras juga banyak yang belum diurus PT Food Station, atau bahkan salah urus.
Ia juga melihat, stabilitas harga beras selama puasa dan lebaran tahun ini tak bisa dilihat sebagai keberhasilan PT Food Station dalam mengendalikan harga.
“Harga beras stabil selama puasa dan lebaran tahun ini juga bukan semata peran PT Food Station, tapi karena memang puasa dan lebaran tahun ini bertepatan dengan masa panen, sehingga beras berlimpah dan harga stabil. Jadi wajar saja harga stabil,” katanya.
Justru, ia mempertanyakan kinerja Food Station saat harga-harga beras melambung awal tahun lalu.
"Peran PT Food Station dalam menetralisir atau menstabilkan harga beras di Jakarta nol persen saat itu. Food Station juga gagal mengantisipasinya," kata Sulhy.
Selain itu, Sulhy juga mempertanyakan peran Food Station sebagai penyangga stok (buffer stock) beras.
Sebab, stok yang dipublikasikan dan digembar-gemborkan selama ini adalah stok yang dimiliki pedagang di pasar induk beras cipinang (PIBC), bukan milik Food Station sendiri.
“Berapa stok yang dimiliki Food Station sekarang, ini juga tak pernah jelas. Padahal, buffer stock ini bisa dipakai untuk mengantisipasi kelangkaan beras,” pungkasnya. (Alf)