JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Jakti menyatakanbahwa kesepakatan dalam Master Settlement and Asquisition (MSAA) adalah perjanjian perdata.
Sehingga penyelesaiannya pun mestinya melalui out of court settlement atau penyelesaian damai di luar pengadilan.
Hal ini dikatakan Dorodjatun saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (16/7/2018). Dia bersaksi untuk terdakwamantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam kesaksian lainnya,mantan Deputi BPPN bidang Aset Management Investasi,Taufik Mapaenre, mengakui bahwa BPPN kala itu tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim karena tidak menemukan adanya unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
"Saya tadi sudah jawab pertanyaan Penuntut Umum, dan saya rasa jawabannya sama seperti itu. Karena sudah diungkapkan tidak ada misrepresentasi, maka tidak ada klaim yang perlu diajukan BPPN kepada obligor" ucap Taufik.
"Atas dasar itu lah kemudian BPPN akhirnya menerbitkan SKL kepada obligor BLBI Sjamsul Nursalim," katanya.
Masalah misrep ini yang dijadikan alasan pokok dalam memperkarakan SAT dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.
Taufik juga mengemukakan, bahwa keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada masa jabatan Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli tidak ada kaitannya dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS, MSAA). Tapi terkait hutang petambak yang ditangani Asset Management Kredit (AMK).
Saksi pun mengatakan Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham tidak pernah menggunakan tagihan terhadap petambak sebagai pembayaran berdasarkan MSAA. Tim Bantuan Hukum BPPN juga tidak pernah meminta menagih Sjamsul Nursalim Rp.4,8 triliun.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan mengapa ada perbedaan dari yang disampaikan Tim Bantuan Hukum yakni Sjamsul Nursalim tidak mengungkapkan kredit petambak itu macet, Taufik menjawab penjaminan DCD terhadap hutang petambak itu, yang tahu informasi mana yang material atau tidak dalam menghitung nilai perusahaan DCD dan WM adalah EY.
Ia bahkan menyatakan Sjamsul Nursalim justru telah membayar hutangnya dalam bentuk aset yang nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan kewajiban hutang yang harus diselesaikan.
Pernyataan Taufik tersebut juga diperkuat oleh saksi lainnya, mantan Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tahun 2002-2005, Lukita Dinarsyah Tuwo yang membenarkan ada kelebihan pembayaran sebesar US$ 1,3 juta.
"Berdasarkan laporan FDD (Financial Due Diligence) Ernst & Young, hasilnya obligor membayarkan lebih nilainya US$ 1,3 juta," ungkap Lukita.
Terkait audit BPK 2006 yang menyatakan bahwa penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim telah sesuai karena yang bersangkutan telah memenuhi segala kewajibannya, Taufik menegaskan bahwa SKL memang layak diberikan dan tidak perlu dipermasalahkan.
Taufik dalam kesaksiannya juga mengungkapkan mengenai pertemuan pihak Sjamsul Nursalim dengan pihak BPPN pada bulan Oktober 2003.
Pertemuan itu adalah pertemuan resmi atas permintaan Ernst & Young dalam rangka melakukan klarifikasi atas penjaminan hutang petambak oleh Dipasena dan Wachyuni. (Alf)