Berita
Oleh Syamsul Bachtiar pada hari Kamis, 02 Agu 2018 - 20:04:45 WIB
Bagikan Berita ini :

Indonesia Bisa Tuntut Pemilik Kapal yang Jadi Penyebab Pipa Pertamina Pecah

3620180802_195709.jpg.jpg
Kapal MV Ever Judger (Sumber foto : Ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemerintah diminta serius menyikapi kasus pecahnya pipa milik Pertamina di Balikpapan yang diduga tersangkut jangkar kapal MV Ever Judger, berbendera Panama.

Pakar kelautan dan hukum kemaritiman Win Pudji Pamularso mengatakan,aturan dan regulasi mengenai kemaritiman, diatur dalam UU No 17 tahun 2008, dimana jika ada accident di kapal, tubrukan atau lain-lain harus disikapi secara serius.

"Langkah pertama nahkoda melaporkan kepada otoritas setempat, dalam hal ini adalah syahbandar. Syahbandar melakukan pemeriksaan pendahuluan, sampai di peroleh data apa penyebabnya, kalau ada unsur pidananya dilaporkan ke kepolisian,” kata Win dalam diskusi bertajuk 'PenyelesaianTerhadap Pelanggaran-Pelanggaran Hukum Kemaritiman di Indonesia,' di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (2/8/2018).

Win menjelaskan, selain UU Pelayaran ada juga UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya untuk masalah pencemaran.

Selain itu, kata dia, ada juga pendekatan Premium Remedium yang mengutamakan penegakan hukum dengan menyoroti aspek pidananya.

Dari kapalnya itu sendiri, yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan dengan KUHD pasal 544a buku 6 yang bersifat internasional.

“Sebenarnya semua perangkatnya sudah lengkap, KLH turun, polisi turun yang memang benar, mungkin aparatur (sipil) dalam hal ini Syahbandar kalah cepat kerjanya dengan polisi,” terang dia.

Terpenting, lanjut dia, dalam proses penyelidikan penyebab terjadinya kejadian tersebut, adalah jangan sampai saling menyalahkan satu sama lain.

Menurut Win, Indonesia sebagain negara maritim harus memiliki posisi yang kuat terhadap pelanggaran hukum kemaritiman.

"Maka itu, adanya dugaan bahwa kapal MV Ever Judger yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan harus dihadapi bersama," ujarnya.

Sebab, menurut Win, dalam kasus ini yang dirugikan adalah pemerintah dalam hal ini Pertamina, lingkungan yang tercemar, penduduk yang menjadi korban hingga nelayan yang kehilangan mata pencaharian karena ikan-ikan pada mati.

“Jangan menyalahkan Pertamina, karena Pertamina itu baguan dari korban/victim dalam kasus ini,” jelas Win.

Apalagi, pipa bawah laut Pertamina di Balikpapan sudah tertanam sekitar 20 tahun silam. Dan selama ini tidak pernah terjadi persoalan.

Dengan demikian, Win menyebut, kasus pecahnya pipa itu bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi pasti ada penyebabnya.

Bahkan, pihak kepolisian pun sudah menemukan bukti awal, yakni diduga kuat karena tersangkut jangkar kapal.

Karena itu, Win yang juga mantan nahkoda kapal the Large Tanker menilai, nahkoda kapal Panama itu tidak sepenuhnya mengikuti petunjuk Pandu soal lego jangkar menjelang kapal berlabuh.

“Harusnya jangkar diturunkan sampai dengan 1 meter di atas permukaan laut. Lha ini jangkar diturunkan satu segel di dalam air, satu segel sama dengan 27,5 meter. Sementara kedalaman pipa 23 meter, ya sudah pasti nyangkut, sekuat apapun pipa, kalau terseret massa kapal yang berbobot hingga 80 ribu ton pasti rusak, jangkarnya sendiri beratnya hingga 12 ton,” terang Pakar Hukum dari Universitas Dwipayana.

Menurutnya, pipa pertamina sendiri pasti sudah didesain ketika awal dipasang, mulai dari kekuatannya, lifetime dan pipa itu dipasang concrete untuk menahan arus air laut ketika pasang dan surut.

Dia pun yakin Pertamina telah menangani aset-aset bawah air, secara periodik mereka akan melakukan pemeriksaan terhadap aset-asetnya tersebut.

Maka itu, dalam kasus ini, menurut Win, bisa langsung mengajukan klaim kepada korporasi pemilik kapal.

“Nanti akan dihitung semua, setelah ketahuan angka kerugiannya, misalnya 5 Billion US dollar, biasanya disitu akan ada negoisasi,” terang Win.

Menurutnya, berdasarkan temuan bukti awal, pemilik kapal harus bertanggungjawab, karena kapal tersebut diasuransikan, maka nantinya pihak asuransi yang akan membayar semua kerugian.

"Sekali lagi, bukan Pertamina yang harus menanggung akibat dari pecahnya pipa, karena dalam posisi tersebut Pertamina yang jadi korban," ungkapnya.

”Dalam pelayaran ada doktrin-doktrin yang berlaku, jika terjadi kecelakaan kapal,” jelas dia.

Pertama adalah doktrin pertanggungan pidana langsung, sehingga kalau kesalahan dilakukan pejabat senior, misalnya nahkoda bisa langsung diidentifikasi kesalahan lembaga/korporasi yabg bekerja disitu.

"Korporasi yang harus bertanggungjawab," katanya.

Kedua adalah doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti, kalau pegawai yang berbuat majikan yang bertanggungjawab.

Secara hukum nahkoda adalah pegawai perusahaan. Ketiga adalah doktrin pertanggungjawab korporasi berdasarkan Undang-Undang.

“UU kita sudah jelas. Nahkoda pasti tahu karena ketika lego jangkar pasti ada pandu. Lego jangkarnya dimana, nah ini kan melakukan kesalahan, dengan menurunkan jangkar sampai 1 segel,” papar Win.

Akibatnya, terjadi kecelakaan berupa jangkar kapal MV Ever menyeret pipa minyak bawah laut milik Pertamina.

Terseretnya pipa bawah laut (Submarine Pipe Line) termasuk kategori tubrukan (collision) karena rantai dan jangkar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kapal.

Secara internasional, kata dia, ketentuan dalam bernavigasi harus mengikuti IMO Convention yaitu The International Regulations for Preventing Collision at Sea 1972 dan Nakhoda harus memiliki kecakapan sesuai ISM-Code atau The International Safety Management Code yang merupakan standar Internasional keselamatan operasional kapal dan pencegahan pencemaran laut.

Sehibgga ketidak cakapan Nakhoda sebagai pemimpin kapal sekaligus mewakili korporasinya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang semestinya dapat dihindari.

Sedangkan terkait pecahnya pipa gas bawah laut di perairan Cilegon, Win menyebututnya sebagai peristiwa serupa.

“Itu case yang sama hanya saja tidak diketahui jangkar kapal siapa yang menggaruk pipa gas bawah laut tersebut. Namun, bisa ditelusuri nelalui KSOP stau Stasiun Pandu setempat yang tentunya mengetahui kapal-kapal apa saja yang berlabuh di area tersebut dan sekitarnya”, jelas Win.

"Disinilah pentingnya peran Dirjen Hubla yang membawahi KSOP, Sea and Coast Guard dan Direktorat kenavigasian untuk memfungsikan secara optimal penjagaan perairan yang menjadi tanggung jawabnya termasuk dalam melengkapi SBNP (Sarana Bantu Navigasi Pelayaran)," pungkasnya. (Alf)

tag: #pertamina  #bumn  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement