Opini
Oleh Mbah Semar Mesem (penulis tamu) pada hari Rabu, 22 Agu 2018 - 10:13:31 WIB
Bagikan Berita ini :

Catatan Kecil Soal Prognosis Perekonomian di Tahun 2019

49ilustrasinilaitukar.jpeg
Ilustrasi (Sumber foto : ist)

Sewaktu Menteri Keuangan Sri Mulyani bicara soal kewajiban hutang jatuh tempo yang harus dibayar di tahun 2019 senilai Rp. 409 Trilliun, sebetulnya SMI juga sedang mewarning kita akan *datangnya situasi fiskal yang mengetat*. Ringkasnya, ruang gerak fiskal ditahun 2019 lebih terbatas.

Yang imminent atau terdekat itu adalah nilai tukar. Perkiraan hutang yang akan dibayar itu, dari sudut pandang realistisnya, masih undervalue. Mengapa ?, karena nilai kurs yang dipatok didalam asumsi makro RAPBN 2019 itu “hanya” Rp. 14.000. Angka ini tentu kontroversial. Ini tercermin dalam nota keuangan pemerintah tentang RAPBN 2019.

Lalu, mungkinkah nilai kurs rupiah di 2019 itu median valuenya Rp. 14.000 ?. Jawabannya ada pada jawaban pertanyaan-pertanyaan; (1) Dari mana sumber “kekuatan rupiah“ terhadap green back (USD) ?, (2) Dari mana sumber capital inflownya ?, sudah tidak ada Tax Ammesty, investasi jor-joran China di posisi yang stagnan, SOEs sedang berjibaku dengan gunungan hutang, swasta nasional juga sedang berjibaku dengan hutang berdenominasi dollar yang mulai jatuh tempo. Dan (3), Dunia usaha, whatever the cost, akan menahan dollarnya di luar negeri, untuk mengantisipasi antara lain; "debt maturity", dan juga kekhawatiran terhadap stabilitas rupiah.

Pertanyaan pertama, dari mana sumber “kekuatan rupiah” terhadap green back ?. Kalau ditilik beberapa pernyataan resmi otoritas, khususnya Bank Indonesia (BI), maka kita bisa memperkirakan setidaknya ada 4 (empat) senjata otoritas yang dijadikan sandaran kekuatan rupiah. Pertama, penggunaan cadangan devisa yang dianggap cukup besar plus backupnya dalam bentuk bilateral swap arrangement dengan beberapa bank sentral besar (termasuk Jepang dan China).

Senjata kedua, kebijakan “quantitative easing“ ala indonesia dalam bentuk penyedian likuditas pasar uang dan posisi bank sentral sebagai pembeli siaga obligasi jatuh tempo (Turki baru-baru saja menerapkan ini, disertai kombinasi dengan bilateral backupsejumlah negara, termasuk Qatar, China dan Rusia). Mari kita coba lacak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ketiga, peningkatan suku bunga BI. Dan yang keempat, pengurangan tekanan defisit current account melalui pengelolaan importasi barang modal padat dollar dan pengelolaan kebutuhan dollar/mata uang asing BUMN.

Empat sumber kekuatan itu tidak akan cukup untuk menjaga rupiah di kurs 14.000 seperti yang dikehendaki oleh RAPBN. Tapi “mungkin” cukup untuk membuat kurs rupiah tidak menjadi liar dan tidak terkontrol. Peningkatan suku bunga memiliki batasnya. Market tahu itu. Dan BI juga pasti tahu itu. Ini soal “tit for tat” games. Magnet peningkatan suku bunga the fed, perang dagang US vs China sangat kuat mempengaruhi itu.

Maukah BI menanggung dampak balik kalau suku bunganya menyentuh angka 6% hingga 6.5% ?. Ataukah BI mencukupkan diri di angka sekarang ?. (mungkin teman-teman BI yang membaca ini akan senyum-senyum mesem).

Apa yang dilakuan BI itu, terutama yang berkaitan dengan kenaikan lending facility dan deposite facility_nya adalah bentuk lain dari “bantuan likuiditas” Bank Sentral terhadap lembaga keuangan, terutama bank. Jadi di sini, mestinya ada jaminan akuntabilitas yang memadai terutama bagi bank-bank yang menggunakan fasilitas ini. Lebih terang lagi, bank pengguna fasilitas ini mestinya adalah bank yang betul-betul prudent. (saya malah menyarankan untuk mempertimbangkan penggunaannya hanya pada bank-bank yang dapat dikategorikan sebagai systematically important bank. Atau sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi terukur.

Hari ini RDG BI menaikkan Repo-ratenya 25 bps, menjadi 5,50%. _Lending facilitynya juga naik 25 bps menjadi 6,25% dan Deposite Facilitynya menjadi 4,75 %. Kenaikan 25 bps ini konsisten untuk mengantisipasi tensi di pasar yang terus dinamis. Alias, BI sangat hati-hati dalam mengantisipasi efek kenaikan BI ratenya terhadap perekonomian (angka 6 % itu bukan rate yang mudah bagi perekonomian).

Pertanyaan (2), dari mana sumber capital inflownya ?. Ini lebih sulit untuk dilacak. Di pasar keuangan, emerging market termasuk indonesia sedang mengalami kelesuan daya tarik. Ini cerminan menurunnya IHSG dari awal tahun hingga sekarang. Foreign Direct Investment juga mengalami tren melambat (rilis BKPM menunjukan FDI disemester I tahun 2018 anjlok 12,9 % YoY). Sulit mengharapkan Individual negara seperti China untuk menambah investasinya di indonesia. Jadi capital inflow baik melalui realisasi FDI maupun di pasar keuangan masih merupakan tantangan besar bagi penguatan rupiah.

Pertanyaan (3), sesungguhnya yang kurang termitigasi adalah eksposure hutang swasta. Seringkali kita terlalu fokus pada outstanding hutang pemerintah. Padahal, sebagaimana yang dialami Turki, dan juga Yunani sebelumnya, eksposure hutang swasta memiliki tantangan yang sama. Hutang asing swasta Indonesia tercatat sebesar US $ 180 Billion. Sebagian diantaranya sudah jatuh tempo tahun ini dan tahun depan, terutama yang berbentuk obligasi.

Situasi ini tentu saja memicu perilaku dunia usaha untuk mempertahankan posisi dollarnya di LN. Itu salah satu alasan disamping alasan lainnya, mulai dari makin tingginya biaya berusaha di dalam negeri hingga daya tarik arbitrase nilai tukar. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #rupiah  #utang-pemerintah  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...