JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemerintah menaikkan anggaran infrastruktur 2019 menjadi Rp420,5 Triliun dari tahun 2018 sebesar Rp410,4 Triliun.Sebelumnya, pada tahun 2015 Rp256,1 Triliun dan tahun 2014 Rp154,7 Triliun.
Total selama 4 tahun memerintah, Jokowi telah menghabiskan anggaran sekitar RP1500 Triliun untuk Infrastruktur.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan, besarnya anggaran infrastruktur Jokowi belum berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Padahal, lanjutnya, mayoritas pendanaan infrastruktur itu bersumber dari utang.
"Infrastruktur itu dampaknya jangka panjang. Bisa di atas 3 tahun. Di era sebelumnya, saat pembangunan infrastruktur tidak seambisius sekarang, pertumbuhan ekonominya bisa menyentuh angka 6 persen. Di era Jokowi, pertumbuhan ekonomi hanya sampai 5 persen. Jadi klaim itu harus dicek ulang landasannya," Herikepada wartawan di Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Selain itu, kata dia, di era lalu, lewat MP3EI, masyarakat bisa mengakses dokumen perencanaannya, sehingga masyarakat ikut terlibat dan mengawasi arah dan dampaknya.
"Sementara itu, di era Jokowi, selain dokumennya sulit diakses, pembangunannya juga terkesan instan sehingga arahnya tak bisa diukur. Dengan begitu, dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan investasi sulit diukur," tandasnya.
"Proyek infrastruktur yang jor-joran dengan asumsi yang terlampau ambisius, bisa blunder. Defisit akan terus naik. Dan kenaikan defisit tersebut akan menyulitkan terwujudnya keseimbangan primer yang positif," ungkap Heri.
"Pada postur 2018 saja disebutkan bahwa pendapatan Negara sekitar 14 persen terhadap PDB, sedangkan belanja bisa mencapai 16 persen terhadap PDB. Gap tersebut tetap harus menjadi perhatian," katanya.
Heri mengungkapkan, per Juli 2018 posisi utang negara sudah mencapai Rp4.253 triliun atau 29,74 persen dari PDB.
"Utang yang tidak terkontrol akan terus menjadi beban APBN karena kita musti membayar cicilan pokok utang yang pada tahun 2018 mencapai Rp396 triliun. Ini tentu akan sangat membebani APBN jika tidak terkelola dengan baik," ujar dia.
"Lebih-lebih di saat ekonomi global yang sedang tak pasti. Pengelolaan internal yang keliru yang dikenal dengan istilah account defisit,primary balance defisit, service payment defisit akan terus memberi dampak terhadap perekonomian nasional," ujarnya.
Selain persoalan beban pembiayaan di atas, politisi Gerindra ini juga pesimis bahwa proyek infrastruktur Jokowi juga tak berjalan mulus.
"Masalah lahan masih menjadi problem akut. Proyek tol trans Sumatera, misalnya, masih terkendala pembebasan lahan. Tak hanya tol saja, proyek PLTU kapasitas 2x1000 MW di Batang, Jawa Tengah, juga terkendala 19 ha lahan yang tidak bisa dibebaskan, ini terlihat menjadi jelas dikala masih kurangnya koordinasi dan sinergi antar kementerian dan lembaga dalam sebuah pemerintahan, yang terkesan berjalan sendiri,-sendiri" ungkapnya.
Dia menjelaskan, fator pertumbuhan ekonomi tidak tunggal. Karena untuk mencapai pertumbuhan 7 persen diperlukan dana minimal Rp5.000 triliun.
"Kita tahu, sumber penerimaan APBN 80 persen berasal dari pajak. Sementara itu, tax ratio masih di bawah 10 persen. Lebih jauh, pertumbuhan ekonomi itu dimotori oleh daya beli masyarakat yang baik, industri juga harus jalan bagus," ujarnya.
Selanjutnya, sektor keuangan yang disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan juga harus tetap diperhatikan.
Karenanya, menurut Heri, lembangunan infrastruktur tak harus membebani APBN.
"Ke depan harus ada keterlibatan pihak swasta lewat public-private-partnership yang jelas dan diarahkan ke sektor-sektor produktif," ujarnya.
Heri mengingatkan, pemerintah tetap harus prudent dalam mengelola belanja dan utang.
"Apalagi kelihatannya pemerintah akan menggantungkan sepenuhnya pembiayaan pembangunan dari sektor keuangan. Pada sisi performa APBN, kita masih defisit yang mengakibatkan jumlah utang naik yang menyulitkan terwujudnya keseimbangan primer yang positif," pungkasnya. (Alf)