JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi II DPR RI Henry Yosodiningrat mengingatkan KPU agar tidak membuat norma aturan yang bertentangan dengan Undang-undang (UU).
Hal ini disampaikan Henry menanggapi kontroversi sikap KPU yang 'ngeyel' menolakputusan Bawaslu, yang meloloskan sejumlah Caleg dari kalangan mantan narapidana korupsi.
Terkait bacaleg eks koruptor, KPU kekeuh berpedoman pada Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan.
Henry menegaskan, pihaknya mendukung penuh semangat anti korupsi. Hanya saja, hal tersebut tidak bolehbertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“DPR mendukung semangat anti korupsi, tapi tidak perlu dibuat aturan atau PKPU larangan Caleg bagi eks koruptor, karena itu jelas bertentangan dengan UU. Sedangkan PKPU itu kedudukannya di bawah UU,” tegas politisi PDI-P itudalam diskusi ‘Polemik PKPU (Caleg Koruptor dan Calon DPD)’di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (4/9/2018).
Dalam kesemptan ini, turut hadir Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, komisioner Bawaslu Rahmat Bagdja, dan caleg DPD RI dari Dapil Provinsi Aceh, Abdullah Puteh.
Menurutnya, KPU adalah pelaksana UU sehingga dalam pelaksanaannya termasuk dalam membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tak boleh bertentangan dengan UU.
“Jadi, PKPU Caleg koruptor itu memaksakan kehendak, dan itu menabrak UU” tegas dia.
Selanjutnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut KPU telah diintimidasi KPK agar membuat PKPU Caleg koruptor tersebut.
Padahal, menurut Fahri, KPU itu penyelenggara pemilu yang independen dan aturan yang dibuatnya tak boleh bertentangan dengan UU.
“KPK ini seperti orang suci, tapi menolak di OTT, dan siapa yang mengkritik KPK selalu dianggap tidak mendukung korupsi. Kalau ini dibiarkan hancurlah kita,” ungkap Fahri.
Sementara itu, Abdullah Puteh merasa didzalimi oleh KPK. Sebab, saat dirinya dilarang nyagub di Aceh, lalu menggugat ke MK, dan menang. Tapi tetap dilarang nyaleg.
"Putusan MK dan UU membolehkan nyaleg, kenapa ini KPU melarang? Ini radikalisme baru dan biang keroknya KPU,” ungkapnya kecewa.
Padahal, pada saat pembahasan di DPR bersama pemerintah, Bawaslu, KPU, DPR dan Kemenkumham RI sepakat tak perlu norma larangan Caleg koruptor tersebut karena bertentangan dengan UU.
"Sehingga KPU hanya bertugas mempublish caleg eks napi koruptor ke masyarakat. Tapi, itu tidak dilakukan dan malah Bawaslu yang publish dan sosialiasi ke Parpol-parpol,” sesal dia. (Alf)