Opini
Oleh Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia) pada hari Senin, 10 Sep 2018 - 09:35:29 WIB
Bagikan Berita ini :

Partisipasi Civil Islam di Pilpres 2019

25Ali-Thaufan-Dwi-Saputra.jpg.jpg
Ali Thaufan DS (Sumber foto : Istimewa)

Dinamika pencalonan presiden-wakil presiden tidak hanya diperankan oleh elit partai politik. Kelompok civil juga memainkan peranannya mendukung calon presiden untuk Pemilu 2019. Partisipasi peran civil semakin meneguhkan demokrasi kita pascareformasi 1998.

Menjelang pendaftaran capres-cawapres, semua parpol disibukkan dengan lobi membangun koalisi: "siapa akan berpasangan dengan siapa?". Kandidat capres di Pemilu 2019 masih wajah lama (seperti Pemilu 2014) yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya dibuat "bingung" memilih pasangan sebagai cawapres. Kegalauan kedua pasangan ini adalah antara memilih pasangan cawapres dari parpol atau tokoh di luar parpol. Di tengah kegalauan kedua bakal calon itu, civil society menawarkan capres-cawapres alternatif. Peran civil ini antaranya muncul dari kelompok Islam.

Menjelang pendaftaran capres 2019 penulis mencermati beberapa peran civil Islam dalam menawarkan dan mengusulkan kandidat yang layak diusung parpol. Peran civil ini seperti yang dilakukan oleh Presidium Alumni 212, yaitu sebuah gerakan yang muncul pada tahun 2017 menuntut penegakan hukum terhadap Basuki T. Purnama (Ahok) atas dugaan penodaan agama. Pada 29 Mei 2018, PA 212 menggelar Rapat Koordinasi Nasional di Jakarta, dan salah satu hasil kesimpulannya adalah mengajukan nama-nama capres-cawapres.

Nama yang direkomendasikan sebagai capres oleh PA 212 adalah: Habib Rizieq Syihab (Imam FPI), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), Tuan Guru Bajang (Kader Partai Demokrat/Gubernur NTB), Yusril Ihza Mahendra (Ketum PBB), serta Zulkifli Hasan (Ketum PAN). Sedangkan nama yang direkomendasikan sebagai cawapres adalah: Ahmad Heryawan (PKS), Hidayat Nur Wahid (PKS), Yusri Ihza Mahendra (Ketum PBB), Anies Matta (PKS), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), Eggi Sudjana (Tokoh Islam), Ustadz Bachtiar Nasir (Dai/Penceramah), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), dan Anies Baswedan (Gubernur Jakarta).

Selain PA 212, menjelang pendaftaran capres, muncul pula gerakan bernama Presidium Pusat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama). Gerakan ini dimotori berbagai ulama dari berbagai ormas Islam. Ulama yang tergabung dalam GNPF Ulama merupakan ulama yang juga tergabung dalam GNPF MUI, yang turut menuntut penegakan hukum kepada Ahok.

Pada 27 Juli 2018, GNPF Ulama menggelar rapat yang disebut "Ijtimak Ulama" di Jakarta. Acara ijtimak ulama ini menurut pengurus GNPF diikuti sebanyak 600 orang ulama. Tak hanya para ulama, ijtimak ulama juga dihadiri tokoh-tokoh politik, ketua umum parpol, seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden PKS M. Sohibul Iman, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, dan Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra. Ijtimak ulama melahirkan rekomendasi pengusungan capres-cawapres kepada Koalisi Keummatan (klaim nama bagi koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan PBB) yaitu simulasi pasangan: Prabowo Subianto-Salim Segaf Al-Jufri dan Prabowo Subianto-Abdul Somad Batubara (penceramah).

Hasil rekomendasi ijtimak ulama itu direspons dengan berbagai tanggapan antara lain seperti dikemukakan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya meski ijtimak ulama merekomendasikan dukungan pada Prabowo, tetapi hal itu tidak senantiasa membuat partinya mendukung Prabowo. Sementara Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB menyebut ijtimak ulama itu belum mewakili pandangan ulama dari kalangan NU.

Disamping PA 212 dan GNPF Ulama, beberapa ormas lain juga mengajukan usulan capres-cawapres. Ormas Islam terbesar Indonesia, PBNU misalnya mengusulkan agar bakal capres Jokowi meminang kader NU. Di internal PBNU beredar empat nama yaitu: Ketua Umum (Ketum) PBNU Said Aqil Siroj, Rais Aam PBNU Ma'ruf Amin, Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum PPP M Romahurmuziy.

Pada akhirnya, rekomendasi dari civil Islam tidak selalu dijadikan pilihan. Prabowo misalnya, tidak memilih satupun dari hasil keputusan PA 212 dan GNPF Ulama. Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno, kadernya sendiri di Gerindra. Sedangkan Jokowi memilih salah satu nama yang muncul dari internal NU, Makruf Amin.

Model Pencapresan

Firman Noor dalam Opini di harian Kompas (6 September 2018) menulis dengan judul "Kokohnya Elit Partai". Dalam tulisannya, Firman membagi tiga model pencapresan yang lazim dilakukan parpol. Pertama, pencapresan parpol diserahkan sepenuhnya kepada ketua umum parpol. Kedua, pencapresan di dalam parpol ditentukan oleh sebuah kelompok kecil dan terbatas (baik berupa majelis ataupun badan). Parpol menyerahkan sepenuhnya pencapresan kepada kelompok kecil itu. Ketiga, parpol menyerap aspirasi kader yang terpresentasi melalui pengurus tingkat daerah hingga pusat dalam menentukan pencapresan. Terhadap model pencapresan ini, Firman mengkritik pola pencapresan Pemilu 2019 yang menurutnya sangat ditentukan oleh sedikit saja elit parpol.

Firman juga menyayangkan model pencalonan baik presiden dan kepala daerah yang dilakukan parpol-parpol, yang justru mementingkan kepentingan bersama rekan koalisi daripada masukan dan saran kader. Terhadap kasus ini, penulis mencatat sebagaimana yang terjadi pada koalisi PDIP dengan PPP di Pilgub Sumatera Utara 2018. Ketika itu, kader PPP Sumut tidak menerima hasil kebijakan DPP PPP yang mendukung pasangan Djarot Saiful Hidayat (PDIP)-Sihar Sitorus (pengusaha). Kader-kader PPP menyayangkan sikap DPP PPP yang berkoalisi dengan PDIP padahal bukan kader PPP yang dijadikan calon. Puncak kekesalan kader PPP saat itu adalah melakukan protes dan membakar foto ketua umumnya, Romahurmuzy.

Partisipasi civil Islam dalam pengusulan pencapresan adalah bukti bahwa kekuatan Islam selalu berperan dalam momen-momen politik Indonesia (Pemilu dan Pilkada). Meski begitu, kekuatan tersebut tidak terkumpul dalam wadah yang mengakomodir seluruh kekuatan politik Islam. Pasalnya, masing-masing kelompok menonjolkan kekuatan mereka masing-masing. Ini bukan sesuatu yang mengherankan karena perbedaan dalam Islam merupakan hal yang lumrah, termasuk dalam pandangan politik.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...