Opini
Oleh Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia dan Peneliti Parameter Politik Indonesia) pada hari Rabu, 19 Sep 2018 - 14:19:48 WIB
Bagikan Berita ini :

Ulama di Pusaran Pemilu

75Ali-Thaufan-Dwi-Saputra.jpg.jpg
Ali Thaufan DS (Sumber foto : Istimewa)

Legitimasi ulama sepertinya menjadi barang buruan para pasangan calon capres-cawapres Pemilu Presiden 2019 nanti. Dipastikan, dua pasangan calon, Joko Widodo-Makruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mencari dukungan ulama baik secara persoalan maupun kelembagaan formil. Makruf Amin yang berlatar sebagai tokoh Nahdatul Ulama (NU) dan sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu punya bekal dukungan ulama dan kyai. Prabowo-Sandiaga pun tidak mau kalah, dengan terus berusaha mencari dukungan ulama.

Pada 27 Juli 2018, sebuah gerakan ulama bernama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) menggelar pertemuan di Jakarta. Hasilnya, rekomendasi kepada partai politik yang tergabung dalam koalisi keumatan –sebuah nama yang dibuat oleh mereka sendiri- untuk mencalonkan Prabowo Subianto berpasangan dengan Salim Segaf al-Jufri atau dengan Abdul Somad. Salim merupakan Ketua Majelis Syura PKS dan Somad merupakan penceramah. Prabowo yang menjadi capres diusung Partai Gerindra, PKS, PAN serta Demokrat ternyata tidak memilih rekomendasi tersebut. Mantan Danjen Koppasus itu memilih kadernya sendiri dari Gerindra, Sandiaga.

GNPF Ulama ikhlas dengan pilihan Prabowo, tidak marah meski Prabowo memilih cawapres di luar yang direkomendasikan. Pada 16 September 2018, GNPF Ulama kembali berkumpul membicarakan langkah ke depan menatap hajatan demokrasi bernama Pemilu.GNPF Ulama kembali mengokohkan dukungannya kepada Prabowo-Sandiaga. Pertemuan itu juga ditandai pakta integritas jika Prabowo-Sandiaga terpilih.

Ada 17 poin pakta integritas yang diteken Prabowo, yaitu:

“(1). Sanggup melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secata mumi dan konsekuen. (2). Siap menjaga dan menjunjung nilai-nilai religius dan etika yang hidup di tengah masyarakat Siap menjaga moralitas dan mentalitas masyarakat dari rongrongan gaya hidup serta paham-paham merusak yang bertentangan dengan kesusilaan dan norma-norma yang berlaku lainnya ditengah masyarakat Indonesia. (3). Berpihak pada kepentingan rakyat dalam setiap proses pengambilan kebijakan dengan memperhatikan pn'nsip representasi. proporsionalitas. keadilan, dan kebersamaan. (4). Memperhatikan kebutuhan dan kepentingan umat beragama, baik umat Islam. maupun umat agama-agama lain yang diakui Pemerintah Indonesia untuk menjaga persatuan nasional. (5). Sanggup menjaga dan mengelola Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan Ummat Islam), secara adil untuk menciptakan ketenteraman dan perdamaian di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. (6). Menjaga kekayaan alam nasional untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. (7). Menjaga keutuhan wilayah NKRI dari ancaman separatisme dan imperialisme. (8). Mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina di berbagai panggung diplomatik dunia sesuai dengan semangat dan amanat Pembukaan UUD 1945. (9). Siap menjaga amanat TAP MPRS No. 25/1966 untuk menjaga NKRI dari ancaman komunisme serta paham-paham yang bisa melemahkan bangsa dan negara lainnya. (10). Siap menjaga agama-agama yang diakui Pemerintah Indonesia dari tindakan penodaan, penghinaan, penistaan serta tindakan tindakan lain yang bisa memancing munculnya ketersinggungan atau terjadinya konflik melalui tindakan penegakkan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (11). siap melanjutkan perjuangan reformasi untuk menegakan hukum secara adil tanpa Pandang bulu kepada segenap warga negara. (12). Siap menjamin hak berserikat berkumpul dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan. (13). Siap Menjamin kehidupan yang Iayak bagi setiap warga negara untuk dapat mewujudkan kedaulatan pangan, ketersediaan sandang dan papan. (14). Siap menyediakan anggaran yang memprioritaskan pendidikan umum dan pendidikan agama secara proporsional. (15). Menyediakan alokasi anggaran yang memadai untuk penyelenggaraan kesehatan rakyat dan menjaga kelayakan pelayanan rumah sakit baik pemen'ntah maupun swasta. (16). Siap menggunakan hak konstitusional dan atributif yang melekat pada jabatan Presiden untuk melakukan proses rehabilitasi, menjamin kepulangan serta memulihkan hak-hak Habib Rizieq Shihab sebagai warga negara Indonesia, serta memberikan keadilan kepada para ulama, aktivis 411. 212 dan 313 yang pernah/sedang mengalami proses kriminalisasi melalui tuduhan tindakan maka yang pernah disangkakan Penegakan keadilan juga perlu dilakukan terhadap tokoh-tokoh lain yang mengalami penzaliman. (17). Menghormati posisi ulama dan bersedia untuk mempertimbangkan pendapat para ulama dan pemuka agama lainnya dalam memecahkan masalah yang menyangkut kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Dari sekian poin, terdapat satu poin yang secara khusus menyebutkan agar jika terpilih, Prabowo bersedia menggunakan haknya untuk memulangkan Rizieq Shihab ke Indonesia dan merehabilitasi namanya serta nama-nama beberapa tokoh yang dianggap mengalami kriminalisasi dari pemerintah.

Langkah politik GNPF Ulama patut kita hargai. Betapapun, pilihan politik mereka adalah hak setiap warga yang dijamin oleh hukum dan tentu saja agama. Hukum mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Warga bebas menentukan pilihan politik, tidak dibolehkan ada tekanan, paksaan bagi warga negara. Apa yang telah menjadi keputusan GNPF Ulama mungkin berbeda dengan beberapa ulama lain yang telah berketatapan mendukung Jokowi-Makruf Amin. Perbedaan ini bukan hal yang tabu dalam politik. Perlu saling menghargai setiap perbedaan ulama itu. Mereka mungkin memiliki “indra keenam” dalam memilih dan memantapkan pilihannya.

Sebetulnya pilihan GNPF Ulama mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga memunculkan berbagai pertanyaan spekulatif: Mengapa mereka tak mendukung Makruf Amin yang sudah jelas bergelar “Kyai Haji” dan menjadi ketua umum MUI?. Bukankah MUI adalah wadah yang otoritatif terhadap putusan-putusan yang membawa embel-embel ulama?

Keputusan kelompok GNPF Ulama tersebut memang berbeda dari tradisi kelompok atau ormas Islam yang ada di Indonesia selama ini. Pada umumnya, dukungan yang muncul dari kelompok ormas-ormas Islam tidak secara eksplisit menyebutkan nama paslon. Muhammadiyah misalnya, tidak menyebut nama paslon tetapi menyebut kriteria paslon yang akan diusung.

Ulama Tak Satu Komando

Pemikiran dalam Islam banyak sekali menelurkan ide-ide yang menjadi nilai pegangan kehidupan, termasuk politik. Pemikiran politik Islam pun ternyata tidak tunggal, ide-idenya cukup beragam. Beberapa yang bisa kita sebut: sistem negara Khilafah, Negara Islam, kesesuaian Islam dengan Demokrasi, konsep kepemimpinan dan beragam lainnya.

Beragam pandangan politik dalam narasi sejarah Islam telah terjadi cukup lama. Harun Nasution mencatat bahwa perbedaan pandangan politik seketika terjadi pasca Nabi Muhammad wafat. Sejak saat itu, umat Islam dihadapkan pada interpretasi beragam menyangkut nash-nash agama. Dan perbedaan itu bermuara pada perbedaan sikap politik. Perbedaan itulah yang menjadi legacy dari generasi ke generasi, hingga saat ini. Perbedaan pandangan dan sikap politik yang kini terjadi bukan sesuatu yang baru. Para ulama generasi abad-abad awal Islam dan generasi abad pertengahan pun telah mengalaminya.

Di Indonesia sendiri, perbedaan pandangan politik ulama juga terjadi mengiringi lahirnya partai-partai politik berasas Islam. Misalnya saja yang terjadi pascareformasi. Ketika kebebasan berpolitik mendapat tempat, tokoh agama, cendekiawan muslim dan para ulama “turun gunung” membentuk parpol. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat itu mendapat desakan dari ulama-ulama dan warga NU, akhirnya membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sementara Amin Rais yang sebelumnya mendapat tawaran dari Tim Pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) untuk menjadi Ketua Umum PBB, menolak tawaran tersebut karena Muhammadiyah menginginkan adanya wadah penyalur aspirasi politik sehingga lahirlah Partai Amanat Nasional (PAN). Di luar PKB, PAN dan PBB, ulama-ulama lain tersebar membentuk parpol masing-masing, misalnya, Partai Keadilan (PK) yang kini menjadi PKS (Amir: 2003).

Ragam pandangan ulama di atas cukup menunjukkan bahwa sulit sekali menyatukan persepsi mereka dalam konteks politik Indonesia, terlebih masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnis juga multiagama. Akhirnya, politik Islam tidak terakomodir dalam satu wadah partai seperti yang pernah terjadi sesaat pasca kemerdekaan. Saat itu, kongres umat Islam menyepakati membentuk satu partai yaitu Masyumi, meski pada akhirnya terpecah, terfregmentasi menjadi beberapa parpol Islam.

Dalam pencapresan, setiap kali Pemilu pascareformasi, dukungan para ulama terbelah ke masing-masing pasangan calon. Kini, hal serupa terjadi lagi, sebagian mendukung Jokowi-Makruf Amin, dan sebagian lainnya –seperti yang diekspresikan GNPF Ulama- mendukung Prabowo-Sandiaga. Dengan adanya dukungan dari unsur ulama, kedua paslon kian percaya diri mengklaim mendapat dukungan dan legitimasi ulama. Dalam kondisi sedemikian rupa, polarisasi pun tak terhindar. Bahkan pada titik tertentu, kita akan mendapati penilaian terhadap kadar ulama tertentu, dan ironisnya hal itu dilakukan oleh orang-orang yang secara kasat mata tidak memiliki kedalaman Ulum al-Din. Penilaian parsial terhadap ulama tersebut adalah merupakan konsekuensi keterlibatan ulama dalam politik.

Harus Saling “Mendinginkan”

Sebagai tokoh agama, kita berharap mereka yang mendukung paslon tertentu bisa saling meredam diri dan meredam para pendukung masing-masing. Tidak elok bila antarulama saling klaim kebenaran dalam memberikan dukungan dan meresa bahwa dukungan yang diberikan telah direstui Tuhan. berdirinya ulama di Kubu Jokowi-Makruf Amin dan Prabowo-Sandiaga harus menjadi pendingin suasana kebatinan para pendukung. Kita tidak bisa abai terhadap polarisasi yang terjadi di dunia maya (media sosial) dan nyata (interaksi sosial yang ternodai sikap tak ramah akibat perbedaan dukungan pencapresan).(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...