Opini
Oleh ; Sugito Atmo Pawiro (Ketua Bantuan Hukum FPI) pada hari Selasa, 16 Okt 2018 - 20:07:36 WIB
Bagikan Berita ini :

Pro Perubahan versus Pro Status-quo

3sugito-atmo-pawiro-nih2_20180504_152633.jpg.jpg
Sugito Atmo Pawiro (Sumber foto : Ist)

Polarisasi warga jelang pilpres cuma dua saja. Yang satu kelompok pro-perubahan dan di sebelahnya pro-status quo. Keduanya terus berseteru di ruang publik, khususnya medsos. Maklumlah, kalau di media massa mainstream tidak mungkin berekspresi bebas karena semua meringkuk di ketiak petahana.

Di ruang media massa mapan, alih-alih porsi pendapat warga akan berimbang, yang terjadi malah disinformasi, pemolesan kosmetik politik agar petahana elok, dan memanaskan pendukung pro status-quo agar menyerang pihak pro-perubahan. Berbagai momentum menunjukkan bukti anggapan ini.

Bagi kelompok pro-perubahan, propaganda apapun yang digulirkan status quo tentang alasan kepantasan petahana untuk maju dua periode dianggap menggelikan. Jargon atau tagline yang diusung pro status-quo tidak lebih dari bualan, tong kosong, cuma nyinyiran, isapan jempol,lebay, hingga sebutan yang lebih serius : manipulatif, pencitraan semata, atau pun klaim yang menyesatkan. Misalnya, tagline ‘’Kerja Nyata” dianggap usang dan norak. Sudah jamak bahwa seorang pemimpin yang dipilih lewat pemilu tentu saja harus bekerja. Seandainya ia hanya tidur siang atau ongkang-ongkang kaki, sepantasnya dimakzulkan (impeachment) dari dulu saja.

Bagi pro perubahan, kerja nyata itu harus ada bukti yang dihasilkan menjadi lebih baik. Faktanya, rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dalam empat tahun terakhir tidak berbeda dengan 10 tahun silam, tetap saja pada kisaran 35 juta jiwa. Jumlah ini mungkin lebih banyak dari penduduk gabungan negara ASEAN. Angka pengangguran pun tidak pernah bergerak dari kisaran 9-10 persen. Lalu, kinerja apa yang bisa menunjukkan progress lebih baik untuk dua sektor elementer ini dalam empat tahun terakhir?

Kurs mata uang Rupiah tidak menjadi lebih kuat, bahkan paling rentan dalam 15 tahun terakhir hingga menembus Rp 15.000 per dolar AS. Fakta yang menandakan bahwa fundamental ekonomi nasional tetap saja rapuh. Ekonomi kerakyatan makin terpuruk, sektor riil mandeg alias jalan di tempat, ekonomi kreatif gak jelas kabarnya, bahan kebutuhan pokok makin merangkak naik, dan beban jasa publik, seperti listrik, semakin mahal.

Sektor pertanian, misalnya, tidak beranjak menjadi lebih kokoh. Beras dipaksakan tetap impor meski stok di Bulog masih lebih dari cukup. Padahal di saat bersamaan transaksi pembayaran yang menguras devisa negara terancam defisit. Realitas ini justru menunjukkan bahwa sektor produktif ekonomi nasional, di mata pro perubahan, tidaklah menjadi lebih baik dari sebelumnya bahkan cenderung kian keropos.

Pembangunan fisik, seperti jalan tol? Ah, masih saja dibangun dengan bersandar pada utang luar negeri, malah menjadi makin ketergantungan. Lagian, kata pro-perubahan, “Yang kami butuhkan jalan raya yang layak, bukan jalan berbayar. Makin mahal lagi”. Kinerja pembangunan infrastruktur jauh dari cukup jika hanya diukur dari panjangnya jalan tol.

Lantas, “Apa hasil kerja nyata itu?,” begitu pertanyaan kritis pro-perubahan. Ada yang berujar, tidak ada gunanya teriak “kerja, kerja dan kerja”. Kalau cuma kerja, maka para loyalis petahana pun bisa berkelakar, “Kerbau di sawah pun bekerja, kok”. Bahkan PSK pun menamakan aktivitasnya mencari uang dengan sebutan bekerja.

Lebih dari itu ketika disindir bahwa program pemerintah sesuai janji kampanye tidak tuntas, maka pro-status quo berkilah dengan pernyataan naif dan kekanak-kanakan, “Nawacita itu dirancang untuk 10 tahun, bukan lima tahun”. Alamak. Berarti janji kampanye empat tahun silam cuma cetak biru (blue print), kalau tidak mau disebut akal-akalan belaka.

Bagi yang pro-perubahan, memilih petahana yang telah terbukti gagal tidak ada gunanya.Wasting-timedan hanya menguntungkan elite politikdan para taipan. Sementara bagi pro status quo, memilih PS juga sebuah pertaruhan karena memang tidak berpengalaman, belum pernah jadi presiden sehingga tidak ada bukti kinerjanya. Ini juga benar. Sama benarnya dengan mengatakan, memilih yang terbukti gagal jauh lebih sia-sia daripada memilih figure yang belum terbukti kinerjanya namun masih mematrikan harapan.

Bagi yang pro-perubahan, alasan kelompok status-quo mendukung tagline “2 Periode” semata karena: (1) ada anggota keluarga, kolega atau orang dekat yang menjadi bagian dari pemerintahannya sehingga ikut merasakan sedapnya akses pada kekuasaan negara. Mereka ini tidak memperoleh akses serupa pada rezim sebelumnya; (2) Merasa bagian dari minoritas yang beruntung karena baru pada masa rezim ini bisa mengendalikan kekuasaan negara. Kelompok ini menguasai kapitalisasi kampanye dan bergandengan tangan dengan kelompok pertama dengan mengusung jargon nasionalis, NKRI dan Pancasila utamanya untuk menghalau kekuatan Islam dalam politik; (3) Individu yang kepincut dengan gaya figure yang berkesan sederhana, lembut, dan polos. Maklum, pemimpin nasional sebelumnya mentereng, macho, dan bergaya aristokrat.

Hanya saja pertimbangan yang terakhir ini melupakan satu hal, bahwa di balik sosok lembut seorang penguasa, sebenarnya hanya setengah badannya saja seperti kelinci toh kepala dan lehernya adalah rubah. Semakna dengan pribahasa di negeri ini, “Singa yang berbulu domba”.

Di balik semua itu, semestinya di antara warga negara republik ini masih ada kelompok yang peduli membela kepentingan rakyat ketimbang meneriakkan “JKW 2 Periode” atau “2019GantiPresiden”. Rakyat yang tidak termasuk lingkaran dalam (inner-circle) kedua tokoh itu mestinya tidak terseret jauh ke dalam lantunan genderang konflik dari kepentingan sempit untuk menikmati kue kekuasaan dari orang-orang di sekitar JKW dan PS.

Bagaimanapun negeri ini bukan sekedar untuk memenuhi ambisi dan kepentingan dua tokoh politik yang akan ikut Pilpres 2019 itu saja. Masih banyak agenda yang harus dikerjakan untuk kepentingan rakyat Indonesia yang tidak terperangkap dalam perang kepentingan politik untuk berkuasa di negeri ini. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 20 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dari semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy ...
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...