Opini
Oleh WS Koentjoro pada hari Kamis, 30 Apr 2015 - 07:46:32 WIB
Bagikan Berita ini :

Demokrasi dan Keindonesiaan Kita

11demokrasi_ist.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Istimewa)

Pada suatu tengah malam, kala rinai gerimis membasahi bumi Jakarta, saya merasakan sangat sulit untuk memejamkan mata di tempat peraduan. Ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba berkelebat mengganggu pikiran saya. Pertanyaan itu adalah siapakah sesungguhnya sosok seorang pemimpin yang digadang-gadang oleh seluruh rakyatnya yang dianggap paling mampu mewujudkan kebahagiaaan bersama (bonum commune) dalam sebuah kehidupan nasional?.

Saya pun akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam perspektif filosofis, saya selalu terngiang oleh pemikiran cerdas seorang Plato tentang sosok pemimpin yang disebutnya sebagai The Philosopher King. Pemimpin yang memiliki maqam demikian adalah seorang negarawan yang memahami prinsip kebajikan (virtue). Ia bukan saja sangat memahami berbagai permasalahan yang dihadapi oleh rakyatnya, tetapi lebih dari itu dengan bekal pengetahuan mendalam yang dimilikinya, ia pun sangat arif dalam mencari solusi bagaimana cara mengatasi permasalahan rakyatnya.

Kalau demikian, di Indonesia yang kita cintai ini, sudah adakah sosok seperti the philosopher king itu? Mencermati kehidupan politik nasional Indonesia hari-hari belakangan ini, nampaknya kita disuguhi kegalauan yang seolah tak ada ujung. Secara konotatif, saat ini kehidupan nasional kita seolah-olah berjalan di lorong yang gelap dan penuh ketidakpastian. Ranah politik nasional penuh sesak dengan intrik dan rasa saling tidak percaya. Penegakan hukum sebagai prasyarat kokohnya bangunan negara demokrasi praktis hanya tinggal wacana. Kehidupan sosial pun tak pernah sepi dari hiruk pikuk permasalahan yang pekat diwarnai dengan tindakan penuh kekerasan, seakan-akan eksistensi negara tiada lagi.

Kehidupan perekonomian pun nyaris tak banyak beranjak membaik, keadaannya sangat jauh dari pencapaian-pencapaian yang spektakuler, tetapi hanya bergerak menggeliat dalam tempo yang sangat lamban. Demikian pula keamanan nasional pun tak pernah sepi dari tantangan dan gangguan, baik yang bersifat laten maupun manifes, entah yang berasal dari faktor internal maupun eksternal. Kalau demikian yang terjadi, bagaimanakah kelak masa depan demokrasi dan keindonesiaan kita?.

Pasca reformasi bergulir sejak 1998 hingga hari ini, demokrasi dan keindonesiaan kita selalu mendapatkan ujian yang cukup serius. Sejatinya bagi kita cukup jelas bahwa demokrasi merupakan seperangkat nilai-nilai ideal yang mendasari perjuangan kita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena pada intinya demokrasi adalah mekanisme pengawasan bagi penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya, meskipun sejatinya dalam demokrasi juga terdapat sejumlah paradoks. Misalnya, di satu sisi demokrasi menyediakan kebebasan namun di sisi lain juga menuntut ketertiban, demokrasi di satu pihak mensyaratkan kompetisi tapi di pihak lain juga menuntut adanya persamaan politik, di satu bagian demokrasi memerlukan pengawasan efektif namun pada bagian lain juga membutuhkan pemerintahan yang kuat, di satu wajah demokrasi memerlukan pembangunan politik tetapi di wajah lain demokrasi melahirkan sukses ekonomi, dan sebagainya.

Menurut Linz, Diamond, dan Lipset demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok, yakni adanya kompetisi yang sungguh-sungguh, adanya partisipasi politik, serta adanya kebebasan sipil dan politik. Karena itu, dengan berdemokrasi kita berobsesi bahwa rakyat lah yang paling berkuasa dalam menentukan kebijakan pemerintah, dan dengan demokrasi pula kita hendak mencegah terjadinya abuse of power agar politik kebangsaan selaras dengan makna hakikinya sebagai ikhtiar luhur dan mulia bagi seorang pemimpin suatu negara dalam mewujudkan kebahagiaan bersama (bonum commune).

Dengan demikian, dalam konteks menghidupkan demokrasi yang hakiki dan menjaga ke-Indonesia-an kita yang sangat pluralistik ini nampaknya kehadiran seorang pemimpin yang memiliki maqam sebagai the philosopher king sangat dinanti-nantikan, untuk masa kini dan masa mendatang.

Althusius (dalam Jan-Erik Lane dan Svante Ersson, Comparative Politics: An Introduction and New Approach, 1994) berpendapat dari sudut pandang teori kontrak sosial bahwa negara terdiri dari berbagai kelompok sosial dalam masyarakat yang memberikan persetujuan mereka kepada pemerintah. Althusius mengetengahkan tentang demokrasi konsosiasional dan demokrasi konkordansi. Demokrasi konsosiasional merupakan demokrasi yang disandarkan kepada kesepakatan atau konsensus antar elite politik. Demokrasi ini kompatibel dengan masyarakat pluralis dan terbelah karena perbedaan etnis dan agama, sehingga potensi konfliknya sangat tinggi. Sedangkan demokrasi konkordansi lebih merupakan strategi untuk mengelola konflik melalui kerjasama dan kesepakatan antar elite yang berbeda-beda sebagaimana halnya digunakan dalam lembaga korporasi.

Saya berpendapat, apa yang digagas oleh Althusius tentang demokrasi konsosiasional dan demokrasi konkordansi ini nampaknya relevan untuk terus dielaborasi lebih lanjut, sehingga esensinya dapat diimplementasikan secara lebih bijaksana dalam konteks membangun demokrasi dan keindonesian kita. Saya pun menyadari sepenuhnya, berdemokrasi memang ibarat berlari maraton. Karenanya membutuhkan stamina dan energi yang cukup bagi sang pelari untuk menyelesaikan langkah kakinya hingga garis finis. Berdemokrasi juga membutuhkan perjuangan panjang guna mencapai tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam arti yang sesungguhnya.

Memang demokrasi bukanlah semacam obat yang dapat menyembuhkan seluruh penyakit, namun dalam perspektif perbandingan sistem politik dan analisis historis yang komprehensif, demokrasi merupakan sistem politik yang primus inter pares. Demokrasi merupakan jalan lempang menuju destinasi kesejahteraan rakyat, meskipun melelahkan dan membutuhkan kesabaran. James Madison, salah seorang pelopor pemikiran demokrasi di Amerika Serikat mengatakan bahwa sebelum sistem demokrasi dapat dibangun, yang terlebih dahulu harus ada adalah kemampuan pemerintah untuk mengontrol masyarakat. A government must be able to control the governed before it is asked to control itself.

Karena itu, dalam konteks membangun demokrasi dan ke-Indonesia-an kita sekarang ini, yang dibutuhkan adalah pelembagaan demokrasi secara terus-menerus dengan mengedepankan paradigma penataan sistem politik yang demokratis, menyeluruh, dan berjangka panjang serta dijiwai oleh semangat nasionalisme yang produktif dan harmonis. Bukan pembongkaran yang bersifat tambal sulam dan berdimensi jangka pendek.

Oleh sebab itu, jika semangat penataan yang berorientasi ke depan dan programatik dapat dilakukan secara simultan oleh segenap komponen bangsa melalui ide dan gagasan sebagai instrumen politik, maka konsolidasi demokrasi di negeri ini cepat atau lambat pasti dapat terwujud. Cara yang paling konkret untuk mewujudkannya adalah bukan dengan berwacana, tetapi melalui kinerja yang optimal, terukur, dan berkesinambungan agar demokrasi benar-benar bermakna bagi perikehidupan kebangsaan sehingga tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam bingkai NKRI.(*)

Penulis adalah Pengamat Politik. Tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan.

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #demokrasi  #indonesia  #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...