Fenomena relawan menghangat pada perhelatan Pilpres 2014. Sebelumnya, suksesi lima tahunan itu murni menjadi panggungnya partai politik.
Polemik relawan kembali mengharu biru pada Pilkada DKI Jakarta 2017.Pentas politik yang menyedot perhatian manusia se-Indonesia ini memberi ruang politik lebih kepada relawan.
Kini, dalam hari-hari menuju Pilpres 2019, kiprah relawan kembali menggema. Masing-masing pasangan calon memberi perhatian khusus kepada mesin politik yang tak memiliki baju partai itu.
Dalam pandangan beberapa kalangan, kemunculan relawan berbanding lurus dengan kemunduran partai politik dalam memobilisasi massa. Kemunculan ini juga cerminan dari semakin menguatnya populisme politik.
Mencuatnya fenomena relawan ditengarai tidak terlepas dari lemahnya keterikatan seseorang terhadap parpol. Yang menarik, lemahya keterikatan itu jutru memperkuat persepsi positif terhadap kandidat yang diusung partai. Dari penguatan persepsi inilah relawan mampu mengajak masyarakat untuk mendukung sang kandidat. Di titik ini pula, para relawan telah mendongkrak elektabilitas sang calon.
Dari pengalaman Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta dan daerah lainnya, terdapar dua tipe relawan. Pertama, relawan yang menambatkan afiliasi politiknya kepada sosok sang calon. Di komunitas relawan ini, sangat dimungkinkan bertemunya orang-orang dari lintas partai politik. Mereka bersatu karena ingin memenangkan sosok sang calon.
Kedua, relawan yang memberikan dukungan karena gagasan sang kandidat. Biasanya, mereka berasal dari partai yang sama, namun memilih bekerja di luar hirarki kepartaian.
Fenomen relawan menyadarkan banyak pihak bahwa panggung politik bukan lagi monopoli partai. Mau tidak mau, suka tidak suka, partai politik harus rela berbagi panggung dengan mereka.(*)