JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Rencana Kementerian Agama menerbitkan Kartu Nikah pada tahun 2019 dari perspektif kebijakan publik mengandung kelemahan dari sisi filosofis maupun sisi yuridis. Anggota Komisi VIII DPR RI Khatibul Umam Wiranu menilai, dari sisi filosofis, keberadaan kartu nikah akan sulit dijelaskan pihak Kemenag.
Karena faktanya, kata Khatibul, kartu nikah bukan kartu identitas diri seseorang serta bukan pula menggantikan buku nikah. Dari sisi yuridis, tak ada pijakan hukum atas rencana ini.
"Jika ini dianggap sebagai diskresi Menteri Agama, justru rencana ini bertentangan dengan spirit Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) yakni asas bertindak cermat. Ide ini tidak memiliki kecermatan," kata Khatibul di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Dampak lainnya, lanjut Ketua DPP Demokrat ini, jika rencana ini terealisasi akan memunculkan mata anggaran baru sebagai konsekwensi dari keberadaan kartu nikah ini.
"Seperti biaya perawatan situs, pemeliharaan web, termasuk penggunaan sumber daya manusia (SDM) profesional yang khusus mengelola situs ini," ujarnya.
Dari sisi penganggaran, rencana pembuatan Kartu Nikah ini tidak ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementeriaan/Lembaga (RKAKL) tahun 2018.
"Dalam RKAK/L tahun 2018 tercatat alokasi anggaran untuk buku nikah sebesar Rp 11 miliar. Jika pengadaan kartu nikah diambil dari alokasi buku nikah tentu ini menyalahi mekanisme penganggaran," ujarnya.
Maka itu, Khatibul menolak tegas rencana penerbitan kartu nikah karena lemah dari sisi filosofis, yuridis dan berpotensi menabrak asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
"Saya sarankan Menteri Agama fokus pada tugas, pokok dan fungsinya yang berbasi pada rencana kerja kementerian. Ide dan inovasi boleh saja dilakukan, namun harus dikontestasikan terlebih dahulu di ruang parlemen dan publik," imbuhnya.(yn)