JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Presiden Joko Widodo bisa melakukan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sebelum masa jabatannya berakhir.
Bahkan Ketua KPK Agus Raharjo mengatakan bila revisi UU Tipikor melalui jalur program legislatif nasional (Prolegnas) terlalu lama, pemerintah bisa menempuh jalan lain dengan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Menurut Agus, pembuatan perppu relatif lebih cepat dibanding melakukan revisi dengan cara pada umumnya.
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Agun Gunandjar mengatakan, sesuai Pasal 22 UU 45 jika dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan perppu.
"Perppu kewenangan pemerintah," kata Agun saat dihubungi, Kamis (29/11/2018).
Kendati demikian dirinya sependapat dengan keinginan lembaga anti rasuah itu untuk merevisi UU Tipikor.
"Setuju sekali, agar bisa lebih bersinergi dalam menjalankan tupoksinya dengan APH l(aparat penegak hukum) ainnya, dan sinkron dengan UU perlindungan saksi, UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan, UU Keuangan Negara, UU Pemda dan UU desa, juga Dengan Per UU lainnya seperti BPK, Kebebasan Informasi publik, UU Ham, utamanya dengan KUHAP," kata Anggota Komisi XI DPR RI ini.
Ketentuan tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tercantum dalam Pasal 22 ayat (1)Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Pasal tersebut berbunyi: dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Penetapan PERPU yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Dari bunyi kedua pasal di atas dapat diketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dikatakan bahwa subyektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya PERPU, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi.
Persetujuan DPR ini dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). (plt)