Opini
Oleh ; M. Nigara (Wartawan Senior/Mantan Wasekjen PWI) pada hari Senin, 10 Des 2018 - 14:42:56 WIB
Bagikan Berita ini :

Pers Itu Harusnya Sama

22Foto-layar-101514-013912-PM.jpg.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

REAKSI MARAH langsung menyeruak begitu Prabowo menolak diwawancarai oleh wartawan-wartawan. Nada tinggi paslon nomer urut 02 itu, dianggap sebagai sikap yang tidak etis. Bahkan, protes Prabowo yang menyebut bahwa pers mayoritas yang tidak meliput aksi Reuni Akbar 212 (2/12/18) di Monas sebagai intervensi.

“Kami punya hak untuk menaikan dan tidak menaikan berita. Kami punya penilaian dan kami punya kebebasan sendiri!” teriak mereka yang ‘menyerang’ sang Capres dari koalisi Gerinda, PAN, PKS, Demokrat, Berkarya itu.

Sampai di sini, kita sesungguhnya bisa melakukan perdebatan panjang dan tajam. Tentu, bergantung di mana kita berdiri dan dengan siapa kita beraviliasi. Untuk itu, debatnya bisa sangat panjang dan akan sangat tajam. Saya tentu tidak ingin masuk ke sana.

Saya hanya ingin bertanya bahwa jutaan orang berkumpul bersama dan sudah terjadi tiga kali, 2016, 17, dan 18 dengan damai, tertib, serta tanpa dicukongi siapa pun, tidak menarikkah?

Nilai gotong-royong dan saling berbagi yang selalu dibanggakan oleh Bung Karno, terjadi dalam tiga aksi itu, tidak menarikkah? Jutaan bungkus makanan, kue-kue, minuman, yang berasal dari masing-masing kelompok, di bagikan secara gratis, tidak menarikkah?

Jawabnya tentu memang berpulang pada nurani kita masing-masing. Seperti saya katakan tadi, bergantung di mana posisi pers kita berdiri dan kepada siapa pers kita beraviliasi.

Pers itu sama

Padahal, pers kita dan pers di dunia, sama. Pers di mana pun berada, nilai luhurnya adalah kejujuran dan independensi. Ruh dari pers di mana ia berada wajib menjalankan keadilan dan kesetaraan.

Jadi, di mana bedanya pers kita dan pers dunia? Sekali lagi, saya tidak ingin kita berdebat panjang dan tajam yang ujungnya merugikan.

Kembali ke soal pengabaian (mayoritas pers kita menyebutnya pilihan) fakta tentang jutaan umat yang berkumpul di Monas. Pers asing, jumlahnya puluhan dari banyak negara, memberitakannya, malah Malaysia dan Prancis, membuat aksi serupa dengan jumlah massa yang ikut pun jutaan. Nyaris tak ada yang berbeda dengan aksi 212, baik di Malaysia maupun di Prancis, semua berjalan sangat damai.

Pak Tyasno Sudarto, mantan Kasad, mengirimkan video dan foto aksi di dua negara itu dengan keterangan singkat: Bangkitnya kekuatan umat islam. Alhamdulillah.

Kembali ke soal pengabaian atau pilihan, kata mereka. Hendaknya kita mau berkata jujur di dalam hati kita. Benarkah ini soal pilihan? Atau sesungguhnya memang sengaja diabaikan?

Pengamat politik Rocky Gerung dengan tegas mengatakan: penggelapan sejarah. “Bayangkan ada peristiwa besar, kok tidak diliput?”

Saya teringat kisah tahun 1990-an. Waktu itu saya masih menjadi wartawan olahraga di Kompas. Hari itu Ahad, 5 Oktober, di stasiun kereta Tanah Abang terjadi kerusuhan besar. Puluhan Mobil dan motor dibakar, gedung-gedung dirusak.

Ribuan masyarakat yang hendak ke Cilegon untuk menyaksiksn hut ABRI, tak terangkut kereta. Sehari sebelumnya Panglima ABRI Jendral TNI Edi Sudradjat, mengumumkan penonton gratis naik kereta dari Tanah Abang. Animo yang melebihi prediksi akhirnya membuat rusuh.

Saya kebetulan pagi itu sudah ada di kantor, saya menerima telpon langsung dari pihak keamanan. “Berita kerusuhan Tanah Abang tidak boleh dimuat!”. Tak lama redaktur piket menyampaikan pada para senior yang sedang asyik menyiapkan tulisan dan foto.

Begitu diberitahu, mereka membanting mesin tik karena merasa hak dan kebebasannya dibatasi. Ya, berita kerusuhan itu hanya bisa kita tahu dari mulut-kemulut.

Lalu, ketika jutaan umat berkumpul dan tidak ada kerusuhan, di mana kawan-kawan pers kita itu? Beruntung rakyat Merdeka menempatkannya di halaman depan sebagai head-line, sementara Kompas menaruhnya sebagai berita sampingan.

Orang awam bertanya, kok bisa? Saya mencoba menjawabnya. “Dulu panglima tertinggi media adalah Pemimpin Redaksi, sekarang penguasa media adalah pemilik.”

Jadi, kemana pemilik beraviliasi, kesitu juga irama dan liputan medianya berjalan. Saya paham, para wartawan sesungguhnya menghadapi situasi yang berat. Di sisi lain mereka berteriak tentang kebebasan dan independensi, tapi di sisi lain mereka juga harus menjaga priuk nasinya. Jika mereka memaksakan berbeda, maka pemecatan adalah ujungnya. Sedih memang.

Tapi, terus terang, tidak sedikit pers atau pekerja pers yang justru menikmati posisi seperti ini. Mereka ramai-ramai berlindung bahwa hidupnya bergantung pada perusahaan (pemilik). Untuk itu, jika perusahaan (pemilik) mau A maka mereka pun mengamininya.

Mereka tak lagi berpegang pada moralitas pers yang sesungguhnya. Saya tidak ingin mengatakan mereka telah menggadaikan jubah persnya, silahkan anda nilai sendiri.

Kita yang di luar media harus bisa memaklumi. Ya, kita memang harus memakluminya karena jika mereka dipecat dan tak mampu menafkahi keluarga, kita juga tak mampu memberikannya. Meski jujur, ada rasa malu membuncah di dada saya. Jika itu yang jadi landasan (mudah-mudah bukan itu), mereka seperti tak percaya kebesaran Allah SWT.

Nah, jika begitu, seharusnya mereka juga memaklumi jika Prabowo dan jutaan umat peserta reuni 212 protes dengan nada yang tinggi. Prabowo dan jutaan umat peserta reuni akbar 212 itu bukan orang pers dan merasa tidak diberikan keadilan dalam porsi pemberitaan.

Ya, semua berpulang pada nurani kita masing-masing. Tapi, percayalah, sesama kita bisa saling bersembunyi, tapi Allah maha tahu segalanya. Dan setiap kita akan mempertanggung jawabkan sikap dan pilihan kita nanti. Ya, nanti di saat mulut kita terkunci. Yang perlu kita ingat, saat itu sesal tak ada artinya lagi.

Sekali lagi, semoga NKRI tetap utuh meski pilihan dan cara pandang kita berbeda-beda. Aamiin. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #dewan-pers  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Rabu, 17 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...
Opini

Wawasan Yusril Sempit Untuk Bisa Membedakan Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024 (bukan April Mop), saya hadir di Mahkamah Konstitusi dalam kapasitas sebagai Ahli Ekonomi, terkait sengketa Perselihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya ...