Opini
Oleh Abdi Rahmat (Pengajar Sosiologi UNJ, Ketum PB PII 2000-2002) pada hari Sabtu, 15 Des 2018 - 21:02:29 WIB
Bagikan Berita ini :

Euforia Cianjur: Negara Tanpa Kekuatan Penyeimbang

2720181215_205446.jpg.jpg
Ribuan warga tumpah ruah di Alun-alun Cianjur saat merayakan operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar oleh KPK. (Sumber foto : Ist)

Euforia masyarakat Cianjur karena ditangkapnya Bupati mereka oleh KPK dapat dilihat sebagai eskpresi kekecawaan rakyat terhadap penguasa.Masyarakat baru bisa bersuara dan mengekspresikan perasaan mereka dalam bentuk euforia, setelah sang bupati ditangkap.

Artinya, selama ini aspirasi dan kekecawaan mereka terhadap sang Bupati tidak tersalurkan dan lama-kelamaan menumpuk, serta baru bisa tersalurkan setelah sang bupati ditangkap.

Namun, fenomena euforia tersebut dapat pula dilihat sebagai praktik kekuasaan oleh negara yang ternyata tidak ada kekuatan penyeimbangnya. Sang bupati bekerja tanpa pengawasan dari DPRD sebagai institusi formal maupun oleh masyarakat sebagai kekuatan civil society. Akibatnya perilaku kekuasaan sang bupati menjadi koruptif.

Tentu ini menjadi ironi dalam demokrasi: “kekuasaan negara tanpat kekuatan penyeimbang”. Idealnya, rakyat mempunyai kekuatan mengawasi dan mengontrol negara. Rakyat sejatinya yang berdaulat. Negara tanpa kekuatan penyeimbang ini dapat terjadi paling tidak karena dua faktor: pertama di level negara, dan kedua di level masyarakat.

Di level negara, perilaku kekuasaan yang koruptif apalagi di tingkat daerah sejatinya tidak berdiri sendiri. Ia merupakan representasi kekuataan di belakangnya. Di samping kepentingan-kepentingan pribadi sang bupati, kepentingan-kepentingan kekuatan di belakangnya, patut diduga juga memberi andil yang membuat sang bupati melakukan kooptasi terhadap DPRD sehingga tidak mampu melakukan pengawasasn. Kooptasi tersebut tentu bisa juga dipahami sebagai adanya kesamaan kepentingan antara sang Bupati dan kelompok-kelompok kepentingan di DPRD, dan juga kesamaan kekuataan di belakang mereka,

Di level masyarakat, dalam kasus di Cianjur tersebut tampaknya tidak ada kekuatan civil society yang mampu mengorganisasi dan memobilisasi masyarakat untuk mengawasi bahkan melakukan perlawananan terhadap perilaku bupati yang koruptif tersebut.

Akibatnya, masyarakat hanya bisa menumpuk kekesalan dan kemarahan mereka sambil berharap dan menanti kejatuhan bupati. Ketika momentum itu tiba, mereka pun menumpah-ruahkan kekecawaan mereka dalam euforia tersebut.

Tidak adanya kekuataan civil society ini, tentu mengkhawatirkan. Bila di Cianjur saja yang nota bene dekat dengan Jakarta dan pusat-pusat ekonomi dan kekuasaan (Bogor, dan Bandung) tidak ada kekuatan civil society tersebut, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang jauh dari pusat-pusat kekuasaan tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana perilaku penguasa di daerah-daerah tersebut. Demokrasi hanya bergantung pada nasib: bila yang terpilih amanah dan berintegritas, atau bila yang terpilih sebaliknya koruptif dan arogan.

Di level nasional, tentu menarik untuk dilihat posisi kekuatan masyarakat dalam relasinya dengan kekuasaan negara dan bagaimana prilaku kekuasaan negara di tingkat nasional. Adakah gejala kekecawaan masyarakat secara nasional terhadap perilaku kekuasaan negara? Apakah reuni 212dapat dijadikan indikasi? Kenapa masyarakat bisa termobilisasi begitu massif dalam reuni tersebut? Hal ini tentu perlu kajian dan analisis lebih lanjut. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kpk  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...