Bencana datang lagi. Setelah gempa Lombok, Palu dan Donggala, kini giliran Selat Sunda diterjang tsunami. Tak main-main, sekali terjang, tsunami malam hari itu menghantam empat wilayah. Yakni Kabupaten Pandeglang dan Serang (Banten), serta Lampung Selatan dan Tanggamus (Lampung). Keempat wilayah itu memang memiliki irisan langsung dengan Selat Sunda.
Sama seperti Tsunami Palu beberapa waktu lalu, Tsunami Selat Sunda juga bersih dari peringatan dini. Artinya, tak ada peringatan dini (misalnya bunyi sirene) yang didengar warga sebelum tsunami tiba.
Bedanya, kalau di Palu, peringatan dini tak terjadi karena peralatan rusak. Kalau di Selat Sunda, peringatan dini tak terjadi karena alat tidak merespons pemicu tsunami. Alat hanya merespons jika pemicunya adalah aktivitas tektonik (gempa). Pada Tsunami Selat Sunda, pemicu tersebut tidak ada, maka peralatan peringatan dini pun tidak bereaksi apa-apa, alias 'diam seribu bahasa'. Tsunami Selat Sunda datang begitu saja, tanpa isyarat dan tanda-tanda.
Kaget,kecewa,sesak,dan reaksi tidak nyaman lainnya, mencuat begitu saja, saat mendengar alasan tidak beroperasinya alat deteksi dini. Apakah sistem peringatan dini hanya dirancang untuk merespons satu pemicu? Bila iya, apa pertimbangannya? Bila tidak, mengapa tidak menggunakan sistem yang multi respons? Apakah karena anggaran mepet? Atau, ini murni faktor di luar dugaan dan kemampuan lembaga resmi negara yang mengurusi bencana alam?
Beragam pertanyaan itu harus segera dijawab. Harus. Jika tidak, maka publik akan mencari jawaban sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin, jawaban itu semakin menjauhkan mereka dari pangkal masalah yang sebenarnya.
Di samping itu, lembaga negara yang selama ini berurusan dengan bencana, meski 'habis-habisan' menggalakkan program mitigasi. Pemetaan atau maping 1001 pemicu bencana juga harus masuk dalam program tersebut. Ini penting, agar tak ada lagi bencana yang tak bisa dideteksi. (*)