Demokrasi, dalam kehendak sejarah bangsa, telah disepakati sebagai tujuan bersama. Cita-cita bersama. Mimpi bersama. Maka logikanya, jika ada romantika dalam sejarah demokrasi bangsa, seharusnya menjadi romantika bersama.
Dalam sejarah hari ini, demokrasi di Tanah Air tercinta masih penuh catatan. Semoga ini juga menjadi catatan bersama.
Catatan terkini adalah pemenuhan hak publik Nusantara akan 'warna' kepemimpinan dari calon pemimpin yang bakal mereka pilih. Cara termudah menangkap 'warna' itu adalah kemudahan mengakses visi-misi sang calon. Yang dimaksud kemudahan mengakses di sini adalah kemudahan untuk membaca, mendengar, dan melihat visi-misi.
Semula, visi-misi capres/cawapres bakal disampaikan dalam sesi khusus, yang ditampilkan sepekan jelang debat pilpres. Namun, karena alasan dan pertimbangan tertentu, sesi itu dibatalkan. Sungguh, romantika demokrasi ini, sangat beralasan untuk dicatat.
Kenapa beralasan? karena demokrasi bertalian erat dengan pemenuhan hak publik. Dalam konteks ini, visi-misi kandidat presiden dan wakil presiden merupakan hak yang harus diberikan kepada publik. Jika tidak, maka (sekali lagi) romantika demokrasi ini layak mendapat catatan bersama.
Hilangnya sesi paparan visi-misi, dikhawatirkan meminimkan (bahkan menghilangkan) narasi program kerja dari masing-masing pasangan calon. Mengapa begitu? karena visi-misi dan program kerja adalah 'dua sejoli' yang seharusnya tak terpisahkan. Setelah visi-misi, biasanya akan lanjut ke paparan program kerja. Sebaliknya, narasi program kerja akan kehilangan ruh jika tidak diawali dengan diskripsi visi-misi.
Sama dengan visi-misi, program kerja juga merupakan fasilitas demokrasi yang harus diberikan kepada publik. Mereka berhak paham apa dan bagaimana program kerja calon pemimpin, yang bakal dijadikan labuhan harapan lima tahun ke depan.
Semoga, sebelum Hari-H Pilpres, publik sudah semakin mudah mengakses visi-misi dan program kerja pasangan calon. Jika tidak, maka demokrasi di Bumi Pertiwi ini benar-benar penuh catatan.