Ada yang menarik dari paparan lembaga survei Indikator Politik Indonesia tentang split ticket voting, beberapa hari lalu. Di sana disebutkan, ada konstituen atau basis massa yang berbeda pilihan calon presiden dengan partai politik. Basis massa tersebut tidak bulat meng-copypaste pilihan politik partai.
Mari sejenak berbincang tentang split ticket voting. Fenomena split ticket voting terjadi saat pemilih berbeda pilihan dengan parpol dan capres-cawapresnya. Kondisi split-ticket voting membuat pilihan parpol seseorang tak sama dengan pilihan capres-cawapres.
Fenomena ini menarik karena pileg dan pilpres kali ini diadakan bersamaan untuk pertama kalinya di Indonesia.Mengapa menarik ? karena pilihan elite partai tidak sejalan dengan keinginan basis massa mereka.
Massa seolah menolak capres pilihan partai. Klaim para elite pun tak banyak berarti ketika menghadapi fenomena split ticket voting. Itu karena klaim elite berbanding terbalik dengan preferensi politik massa.
Apakah ini isyarat bahwa para elite partai (bahkan partai) gagal mengendalikan pilihan politik di basis massa mereka sendiri? Entahlah. Atau sebaliknya, fenomena ini menunjukkan kesuksesan partai memberikan kemerdekaan politik kepada massa pendukungnya? Ini juga entahlah.
Namun, terlepas dari itu semua, ada dua hal yang bisa ditarik dari fenomena split ticket voting. Pertama, partai harus jeli dan mampu membedakan secara tegas antara kader dan basis massa. Ini penting, karena walaupun samar, ada perbedaan antara kader dan basis massa. Kedua, partai harus lebih persuasif dan argumentatif ketika menyampaikan pandangan dan preferensi politik ke basis massa. Akhiri, sekali lagi akhiri, politik klaim. Percayalah, kini politik klaim semakin pudar wibawanya. (*)