Berita
Oleh Jihan Nadia pada hari Sabtu, 02 Feb 2019 - 17:38:04 WIB
Bagikan Berita ini :

Riset FFH: Politik Uang dan SARA Jadi Ancaman Serius di Pemilu 2019

tscom_news_photo_1549103884.jpg
Kapuspen Kemendagri, Bahtiar saat jumpa pers di cara Kemendagri Media Forum di Kantor Pusat Kemendagri Jl. Medan Merdeka Utara No. 7, Jakarta Pusat, Jumat (1/02/2019). (Sumber foto : TeropongSenayan.dok)

JAKARTA(TEROPONGSENAYAN) --Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali menyelenggarakan Kemendagri Media Forum (KMF) untuk pertama kalinya di Tahun 2019. Mengangkat Topik yang sedang hangat di masa kampanye, yaitu Pancasila, Hoax, dan Toleransi: Ancaman Pemilu 2019 (Ekspose Hasil Riset Sindikasi Pemilu dan Demokrasi bersama Founding Father House). Acara ini diselenggarakan di Pers Room Kemendagri Jakarta, Jum'at (1/2/2019) kemarin.

KMF tersebut menghadirkan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Bahtiar Baharuddin, peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Daniel Zuchron, dan peneliti senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata.

Berdasarkan hasil survei kerjasama LSM Sindikasi Pemilu dan Demokrasi bersama Founding Father House, yang melibatkan 300 sampel responden mahasiswa dan organisasi pemuda di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat dengan teknik puposive sampling melalui metode Q, ditemukan beberapa hal yang menarik untuk memjadi perhatian semua pihak.

Peneliti senior Founding Fathers House (FFH), Dian Permatamemamparkan, hasil risetnya, berdasarkan survei kepada 300 responden ditemukan bahwa politik uang dan SARA menjadi ancaman yang paling mengkhawatirkan.

Tercatat ancaman politik uang di wilayah DKI Jakarta menjadi yang paling besar dengan mengumpulkan 52 poin disusul dengan Provinsi Banten 37 dan Jawa Barat 34 poin. Sedangkan ancaman SARA, menjadi ancaman paling mengkhawatirkan kedua, terutama di Provinsi Banten dengan 51 poin, disusul dengan DKI 29 dan Jawa Barat 25 poin.

Hasil survei tersebut menjelaskan bahwa politik uang masih menjadi hal yang lumrah bahkan tidak asing di masyarakat perkotaan, dan SARA masih menjadi dilema perkembangan toleransi di Indonesia.

Terlepas dari hasil survei, Dian juga mengkhawatirkan resiko ancaman penyalahgunaan tekhnologi informasi yang bahkan di Negara lain juga mengalami hal yang serupa.

Ia menilai kemampuan memanipulasi data digital yang berisikan fitnah yang berujung hoax kini semakin mudah. “Kemampuan tekhnologi dalam memanipulasi video ril melalui rekayasa digital menjadi video yang berisikan hoax semakin berkembang luas dan mudah dipelajari”, jelas Dian sembari menunjukkan video yang dijadikan contoh.

Ironisnya, berdasarkan survei tersebut diketahui kemampuan mahasiswa sebagai kaum yang seharusnya menjadi kaum intelektual dan bernalar tinggi masih kurang dalam memvalidasi berita.

Dalam catatan Dian, di DKI Jakarta yang tidak mampu membedakan hoax mencapai 69 poin, diikuti Provinsi Banten dengan 50 poin dan Jawa Barat dengan 34 poin. Sangat berbanding terbalik dengan mahasiswa yang dianggap mampu membedakan hoax, dimana DKI hanya 21 poin, Banten 43 dan Jawa Barat 34 poin.

Melalui data tersebut, Daniel Zuchron yang juga adalah mantan komisioner Bawaslu RI tahun 2012-2017, mengaku, sedih dengan kemampuan mahasiswa masa kini.

Ia menganggap akan mudah bagi mahasiswa tersesat berita hoax terlebih dikarenakan kemampuan nalaritas mahasiswa milenial dalam memahami Pancasila yang semakin rendah.

"Kemampuan logika dan filsafat mahasiswa sebagai kaum yang seharusnya intelektual masih kurang mampu membedakan hoax, dan bisa tersesat", ujar daniel.

Daniel beranggapan Soekarno sebagai Founding Fathers telah membentuk Pancasila sebagai nilai fundamental Negara Indonesia, hasil serapan nilai kehidupan bangsa pada saat itu yang hingga kini masih relevan.

Secara normatif, menurutnya, Pancasila telah dikunci dalam pembukaan UUD 1945 sehingga yg penting adalah bagaimana cara membawa membumikan nilai Pancasila secara konkrit masuk ke dalam hidup dan kehidupan masyarakat.

Menanggapi hasil riset tersebut, Kapuspen Kemendagri Bahtiar mengungkapkan semakin minimnya tingkat pastisipasi masyarakat sipil, mahasiswa serta kaum intelektual yang biasanya menjadi tokoh inspirator yang membuat suasana hajatan Pemilu menjadi hajatan pesta demokrasi yang menarik dan nikmat diikuti.

Menurutnya,ajang Pemilu biasanya menjadi arena diskusi publik yang paling hangat untuk perbincangkan hal-hal substantif kenegaraan, namun kali ini yang terjadi berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan turunnya nalar rekan mahasiswa dan semakin keringnnya tema-tema diskusi publik yang substantif, yang berdampak pada subur berkembangnya hoax. Akibatnya, ruang publik sangat kering gagasan kebangsaan dan kenegaraan.

Bahtiar pun mengingatkan pentingnya dunia pendidikan baik formal maupun informal. Pendidikan sebagai tempat melatih penalaran terhadap fenomena, gejala dan peristiwa di masyarakat.

Bahtiar menegaskan, Kemendagri adalah lembaga yang sangat menjunjung nilai demokrasi dan selalu terbuka akan perbedaan gagasan.

Ia membuktikan dengan adanya fasilitasi KMF sebagai ruang publik yang difasilitasi oleh Puspen Kemendagri terhadap Lembaga Non Pemerintahan (NGO) dan Pers untuk berinteraksi dengan Kemendagri.

“Kemendagri selalu terbuka terhadap berbagai masukan publik. Namun, juga kami memiliki posisi yang jelas untuk siap melawan racun-racun demokrasi, seperti yang sering disampaikan oleh Pak Mendagri Tjahjo Kumolo dalam berbagai forum”, pungkasnya. (Alf)

tag: #kementerian-dalam-negeri  #pemilu-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement