Berita
Oleh Jihan Nadia pada hari Jumat, 08 Feb 2019 - 01:12:50 WIB
Bagikan Berita ini :

UU Administrasi Pemerintahan Dahulukan Upaya Administratif

tscom_news_photo_1549563170.jpg
Seminar nasional bertema "Upaya Administratif dan Perspektif UUAP dan Penerapannya dalam Penyelesaian Sengketa Administrasi di Jakarta, Kamis (7/2/2019). (Sumber foto : Ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pejabat diingatkan agar taksembarangan membuat keputusan atau melakukan sebuah tindakan hukum, kalau tak mau berurusan dengan hukum. Inilah konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, segala keputusan mesti ada landasan perundang-undangannya.

Dalam kaitan pejabat yang membuat keputusan atau tindakan hukum, tindak tanduknya diatur dalam UU no. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).

Menurut pakar Hukum Administrasi Negara Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh, yang juga Dirjen Dukcapil Kemdagri, UUAP dibuat satu paket di DPR RI dalam waktu bersamaan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) pada periode 2009-2014.

"Makanya ada sejumlah pasal yang saling terkait di dalamnya. Misalnya Pasal 384 hingga 385 UU Pemda itu terpaut dengan Pasal 17 hingga 22 UUAP," ujar Zudan yang juga pakar sosiologi hukum ini saat menjadi pembicara pada seminar nasional bertema "Upaya Administratif dan Perspektif UUAP dan Penerapannya dalam Penyelesaian Sengketa Administrasi di Jakarta, Kamis (7/2/2019).

Seminar ini digelar dalam rangka memperingati HUT ke-28 Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) pada 6-8 Februari 2019 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta.

Zudan yang juga menjabat sebagai Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri ini menyampaikan bahwa materi UU ASN dan UU Pemda banyak mengambil asas "contrarius actus" dan asas "fiktif positif" yang diatur dalam Pasal 53 UUAP.

Adapun asas contrarius actus bermakna pejabat tata usaha negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN (beschikking), dengan sendirinya berwenang membatalkan putusannya. Sedangkan asas “fiktif positif” adalah apabila dalam waktu 10 hari bila permohonan tidak diproses maka dianggap disetujui.

Lebih mendalam menurut Zudan, dari aspek politik hukum, UUAP dimaksudkan untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

"Kita ingin tata pemerintahan di Indonesia menjadi lebih responsif, lebih tanggap, akuntabel, termasuk menciptakan pelayanan publik yang menjadi lebih cepat menyelesaikan masalah serta ada perlindungan hukum bagi masyarakat dan bagi aparaturnya," paparnya.

Zudan menjelaskan, lantaran semangatnya ingin memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan di daerah, maka ada banyak paradigma baru di dalam UUAP ini. Dalam UUAP upaya administrasi didahulukan ketimbang upaya hukum di persidangan. Itulah sebabnya UUAP itu tidak menginisiasi lembaga baru.

Sebab, Ketentuan Pasal 75-78 UUAP berdasarkan pada asas contrarius actus tadi hanya menyatakan bahwa jika ada ASN keberatan dengan keputusan atasan, maka surat keberatan diajukan kepada pejabat yang langsung yang membuat keputusan. Kemudian apabila masih tidak puas (mengajukan banding) disampaikan kepada pejabat level atasnya lagi.

Zudan memberi contoh, misalnya, dirinya membuatkan keputusan memindahkan staf. Staf tadi kemudian langsung bersurat menyatakan keberatan. “Saya keberatan dipindahkan dari staf bagian keuangan ke bagian dapur,” Zudan membahasakan staf tersebut.

“Maka saya menjawab dalam waktu 10 hari, kalau orang itu menerima perkara selesai. Jika orang itu keberatan, permohonan naik ke Mendagri sebagai atasan saya. Mendagri mengatakan misalnya tindakan dirjen memindahkan staf sudah tepat karena perlu rotasi pegawai. Kalau staf tadi menerima maka selesai urusan, bila tidak terima baru ke PTUN,” papar Guru Besar Termuda dalam komunitas intelelektual Ilmu Hukum Indonesia ini.

Pada kesempatan itu tak lupa Zudan mengajak para Hakim PTUN agar tidak bosan bosan menelaah paket undang-undang yang disebutnya tadi ketika menangani perkara-perkara hukum tata usaha negara.

Di lain pihak, selama beberapa kali dirinya menjadi saksi ahli di PTUN, masih ada hakim yang keliru memaknai perkara fiktif positif ini.

Dalam pandangannya, fiktif positif hanya dibolehkan untuk permohonan bagi si pemohon untuk mendapatkan hak baru tapi tidak untuk membatalkan keputusan yang sudah ada.

Misalnya, dia mencontohkan ada sertifikat tanah lama ingin dibatalkan. Yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional sertifikat tanah nomor sekian dibatalkan, Ketika BPN tidak mau membatalkan selama 10 hari langsung dimasukkan permohonan fiktif positif itu ke PTUN. Celakanya, kata Zudan, ada putusan PTUN yang memenangkan perkara tersebut.

“Original intent-nya tidak seperti itu, Kalau itu dilakukan maka runtuh tata kelola pemerintahan kita. Nanti ada IMB bangunannya sudah berdiri, karena ada yang gak suka rumah tetangganya lebih bagus lalu minta pembatalan permohonan IMB, itu tidak boleh,” tegasnya

Selanjutnya, Zudan menjelaskan asbabun nuzul mengapa upaya administratif yang terdiri dari keberatan dan banding diadakan. Debat pertama itu ada yang memaknai Pasal 75 UU PTUN ini sifatnya diskresioner bukan mandatory karena ada kata "dapat" di dalamnya.

Semangatnya kata "dapat" adalah pilihan bagi warga masyarakat. Mau menerima keputusan atau mau mengajukan keberatan.

“Kata ‘dapat’ itu bagi saya bila keberatan ajukanlah keberatan, bila menerima ya selesai perkara. Bukan kemudian ini diskresioner untuk langsung mengajukan keberatan ke PTUN,” jelasnya sembari memaparkan original intent waktu dirinya membahas UU PTUN ini. (Alf)

tag: #kementerian-dalam-negeri  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement